Kamis, 14 Januari 2010

Resume Buku Sirah Nabawiyah (Drs. Ajid Thohir, M.Ag)

A.           Komunitas Muslim Mekah Sebelum Hijrah

Ketika Nabi Muhammad SAW  pertama kali menjadi Rasul, beliau telah mampu mengumpulkan dan membina para pengikutnya dalam wadah komunitas-keagamaan dengan ikatan emosional-spiritual yang sangat kuat. Ikatan itu telah mencapai lebih dari 100 orang. Bahkan menurut Philip K. Hitty [1], sekitar 200 orang di luar jumlah penduduk kota Mekah yang diperkirakan berjumlah 25.000 orang. Meskipun sedikit, komunitas ini mempunyai mentalitas-keagamaan yang stabil dan kokoh. Hal ini terlihat ketika mereka menerima berbagai tindasan dan kecaman dari kafir Qurais. Namun mereka tetap bersikeras berpegang pada ajaran baru (Islam) itu secara konsisten.

Ajaran wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW secara implisit menentang seluruh institusi masyarakat yang telah diciptakan dan dijalankan oleh mereka selama ini. Seperti, berjudi, menyembah berhala, dll. Kehadiran ajaran baru ini, berarti telah menafikan otoritas kepemimpinan yang telah ada yang dipegang oleh tokoh-tokoh Qurais. Karena secara implisit, misi kenabian juga mengandung visi kepemimpinan, bahkan secara eskatologis sebagai kehendak Tuhan yang berusaha mengarahkan seluruh pengikutnya menuju petunjuk Tuhan.
Sejak masa-masa awal tahun 615 M, telah terlihat secara konkret bahwa Muhammad SAW telah menjadi pemimpin komunitas baru itu, dan mereka yang berada di bawah kepemimpinanya secara tak langsung telah membentuk kesadaran kelompok yang terlepas dari berbagai tradisi kelompok Mekah lainnya, seperti fanatik kesukuan (ashabiyah), apalagi pengakuan terhadap kepemimpinan di luar Nabi Muhammad SAW.

Oposisi kelompok kafir Qurais telah mendesak Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya dalam dimensi keagamaan dan sosial. Satu-satunya pelindungnya adalah otoritas klan Banu Hasyim yang diketuai oleh Abu Thalib. Sekalipun demikian, kebencian kelompok Qurais tampaknya tak bisa di halangi oleh kenyataan ini. Mereka terus menerus mendesak Abu Thalib untuk memutuskan hubungan dengan Nabi Muhammad SAW. Negosiasi ini dilakukan oleh Imarah bin al-Walid. Hal ini nampaknya tidak berhasil sehingga mereka membentuk gerakan “proteksionisme ekonomi” pada keluarga Abu Thalib. Gerakan penyiksaan sporadis terus di tingkatkan oleh mereka terhadap komunitas keagamaan yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena keterdesakan yang begitu berat, pada tahun 615/616 M, Rasulullah SAW tidak lagi menemukan pemeluk baru karena tekanan oposisi yang begitu dasyat. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW menganjurkan mereka untuk hijrah ke Habsyah, Etiopia. Karena berdasarkan pengetahuannya, penguasa negeri ini telah memberikan dukungan teologi pada agama Islam. Maka berangkatlah sebelas orang laki-laki dan empat orang perempuan, kemudian disusul oleh 70 sahabat lainnya ke negeri ini dengan fasilitas seadanya, yang dipimpin oleh Utsman bin Affan r.a.
Pada tahun 619 M, Rasulullah SAW mengambil inisiatif untuk mencari dukungan di luar kota Mekah dan yang pertama dilakukannya adalah ke Thaif. Akan tetapi, jalan yang dilalui tidaklah mulus. Nabi SAW malah mendapatkan cacian dari penduduk Thaif. Hal ini terjadi karena mereka melihat agama baru ini mapan dalam aktivitas kehidupan sosialnya. Bersamaan dengan itu, pelindung Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib dan Siti Khadijah meninggal dunia akibat tekanan kafir Qurais yang begitu hebatnya. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW melakukan upaya-upaya untuk melakukan pengembangan konsepsi dan ajaran teologi dan sosial Islam. Di mulailah upaya tersebut dengan menemui para peziarah haji dari Yatsrib pada tahun 620 M. Akan tetapi upaya tersebut mengalami kebuntuan karena tokoh-tokoh Mekah terus memblokade kegiatan ini.

Pada tahun 621 M, para peziarah tersebut telah menerima ajaran dan kehadiran Rasulullah SAW. Pada tahun itu pula diadakan bai’atul aqabah I yang isinya mengakui kenabian Muhammad SAW, kemudian mereka berbai’at untuk masuk Islam.
Sejak itulah, Allah SWT mengizinkan Rasulullah SAW dan komunitas Muslim untuk berperng melawan kaum kafir yang sebelumnya hanya diwajibkan untuk bertahan, bersabar dari siksaannya, memaafkan perbuatan jahilnya dan berdo’a saja pada Allah SWT atas segala yang diderita.

Pada tahun berikutnya 622 M,  disepakatilah adanya kesediaan para sahabat Yatsrib untuk menerima kawan-kawan seiman dari Mekah. Dan itulah diantara isi penting Bai’atul Aqabah II.


B.            Komposisi dan Struktur Penduduk Madinah Sebelum Hijrah Nabi SAW.
Wilayah Madinah ketika Islam datang merupakan daerah yang di dominasi oleh kekuatan agama samawi dan  suku tertentu yakni Yahudi. Agama Nasrani masih terbilang minoritas. Mayoritas klan Arab yang berdomisili di wilayah ini adalah suku Aus dan Khajraz. Dilihat dri struktur sosial dan kultur mereka, penduduk Madinah lebih cenderung bersifat heterogen di banding Mekah. Apalagi ketika Islam datang ke wilayah ini (Yatsrib), semakin menambah komposisi  budaya dan agama masyarakatnya sehingga komunitas-komunitas penduduk Yatsrib pada permulaan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya menetap di kota ini terdiri dari:
1.      Kaum Arab Yatsrib yang telah masuk Islam (Anshar).

2.      Orang-orang Arab Mekah Muslim yang hijrah (Muhajirin).

3.      Penganut paganisme.

4.      Kaum Yahudi yang terdiri dari berbagai suku Yahudi maupun orang Arab yang telah mennjadi Yahudi.
5.      Penganut agama Nasrani sebagai minoritas.

6.      Golongan munafik yang minoritas.


Dengan demikian, masyarakat di Madinah ini umat Islam nya selalu berhadapan dengan berbagai komunitas lain dan kenyataan pluralisme.

Sementara itu, di luar kota Madinah terdapat sejumlah suku yang sering di sebut  al-jiwaar (masyarakat tetangga). Mereka adalah:


1.             Suku-suku yang berada di sebelah barat Madinah dan Mekah:

-                 Khuza’ah – Aslam; Ka’ab b. ‘Amr; al-Mustaliq

-                 Kinanah – Bakr b. ‘Abd Manaf – Damrah (berikut Ghiffar); Layth; ad-Du’il

-                 Mudlij al-Harits b. ‘Abd Manaf (bagian dari Ahabish)

-                 Muzaynah

-                 Juhaynah

-                 Azd Shanu’ah (berikut Daws)


2.             Suku-suku yang berada di sebelah timur Madinah dan Mekah:

-                 Khuzaymah (b. Mudrikah; Kinanah anggota dari Khuzaymah) – Asad b. Khuzaymah; (‘Adal, al-Qarah)

-                 Tayyi’ (beriku Nabhan)

-                 Hudhayl (b. Mudrikah) – Lihyan

-                 Muharrib (b. Khasafah)

-                 Ghatafan – Ashja’; Fazarah; Murrah; Tha’labah (berikut Anmar; ‘Uwal)

-                 Sulaym (berikut Ri’il, Shayban)

-                 Hawazim – ‘Amr b. Sa’sa’ah – al-Bakka’; Hilal; Kilab (berikut Qurta’; Uraynah)

-                 Rabi’ah

-                 Jusyam; Nasr; Sa’ad b. Bakr; Thumalah

-                 Thaqif (b. MAlik, Ahlaf)

-                 (Bahilah)


3.             Suku-suku yang berdomisili di sebelah utara:

-                 Sa’ad Hudaym; ‘Udharah

-                 Judham
-                 Quda’ah (termasuk Jarm, al-Qayn, Salaman)

-                 Bali

-                 Bahra

-                 Lakhm (berikut Dar)

-                 Ghassan

-                 Kalb


4.             Suku-suku yang berada di sebelah selatan Mekah:

-                 Khat’am (yang dekat dengannya Azd Shanu’ah)

-                 Mudh’hij – ‘Ans; Ju’fi; Khawlan; an-Nakha’; Ruha’; Sa’ad al-‘Ashirah

-                 Bajilah

-                 Hamdan

-                 Al-Ahrits b. Ka’ab (termasuk Nahd)

-                 Murad

-                 Kindah (termasuk Tujib)

-                 Himyah (termasuk Yaman)

-                 Hadramawt

-                 ‘Akk dan Ash’ar


5.             Selebihnya yang masih berdomisili di sekitar Jazirah Arabia:

-                 Mahrah

-                 Azd ‘Uman; ‘Abd al-qays (di Bharayn)

-                 Hanifah

-                 Tamim

-                 Wa’il – Bakr (termasuk Shyaban); Taghlib.


C.           Konflik Penduduk Madinah Sebelum Kedatangan Rasulullah SAW

Madinah yang dulu dikenal dengan sebutan Yatsrib untuk dunia arab, menjadi sangat terkenal setelah Rasulullah SAW mengembangkan Din-Islam di wilayah ini dan mengganti namanya menjadi “madinah al Munawwarah.”. 

Sejak perwalian Ghassan (masa pemerintah Haris Ibn Jaballah, sekitar tahun 529 M) berminat dan berhasil menguasai wilayah ini, Yastrib masih tetap menjadi wilayah yang otoritasnya berada di tangan suku-suku Arab, terutama suku Aus, dan Khajraz. Secara garis besar, seluruh wilyah Yatsrib lebih tepat untuk digunakan sebagai lahan pertanian dari pada lahan perternakan. Daerah yang paling penting diantaranya adalah Harrah Waqim di bagian Timur serta Harrah Wabarah di bagian Barat. Yatsrib juga merupakan daerah yang paling banyak memiliki lembah, yang membentang dari selatan ke utara, dan yang paling terkenal adalah Wadi Batsan, Mudhainib, Mahzur, dan Aqia.

Akibat berbagai provokasi kaum Yahudi, terjadilah perang saudara yang hebat dan berkepanjangan antara suku Aus dan Khazraj yang terjadi sekitar tahun 617-618 M atau lima tahun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke wilayah ini. Perang ini dikenal dengan nama perang Bu’ats. Pada saat itu Rasulullah SAW mencoba menarik simpati kaum ini, tetapi mereka menolaknya. Sebaliknya suku Aus justru menaruh simpati pada ajakan Rasulullah SAW dan melakukan konsolidasi pada aqabah I dan II.


D.           Hijrah dan Upaya Pembentukan Masyarakat Baru (ummat)

Arti hijrah bagi Muhajirin bukan berarti pemutusan keterikatan masyarakat terhadap masyarakat tanah kelahiran dan alam lingkungan yang semula, tetapi yang lebih utama adalah adanya kesempatan dan harapan baru untuk berubah menjadi anggota masyarakat yang dinamis yang memiliki hak-hak kewarganegaraan yang sama. Kegiatan hijrah pun dimulai oleh para sahabat Rasul, bahkan di antara mereka ada yang datang terlebih dahulu secara sembunyi-sembunyi, dan pemberangkatan selanjutnya secara berkelompok yang dipimpin oleh Umar bin Khaththab. Adapun Ali bin Abi Thalib berangkat paling akhir. Hal ini merupakan startegi untuk mengelabui, bahkan untuk melihat sikap akhir para kuffar Mekah atas tindakan Rasulullah SAW.

Dengan ditemani Abu Bakar, Rasulullah SAW mulai memasuki daerah yang disebut Quba, salah satu kawasan pemukiman yang terletak dibagian selatan Yatsrib. Di kota ini Nabi SAW beristirahat serta menginap selama beberapa hari di rumah laki-laki tua yang bernama Kultsum bin Khadam bin Anr al-Qoes al-Aus yang rumahnya bisaa selalu dijadikan sebgai pangkalan pertama orang-orang yang hendak tiba di Yatsrib, sedangkan Abu Bakar menetap di rumah Hubaib bin Isaf atau Kharijah bin  Zaid.

Beberapa hari setelah Nabi SAW diterima di kalangan penduduk, beliau membeli sebidang tanah milik dua anak yatim, yakni Sahl dan Suhail bin Amr untuk membangun sebuah mesjid berikut tempat tinggalnya dan untuk sementara waktu Beliau menetap di rumah Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshary.

Pada saat itu pula Yatsrib diganti oleh Rasulullah SAW dengan nama “madinatu-rasulillah”. Beliau bersabda “kalian (sejak sekarang) menyebut Yatsrib dengan sebutan Madinah”(H.R.Ahmad). Mengapa nama Yatsrib diganti Beliau? Menurut Isa bin Dinar, istilah “Yatsrib” sendiri mengandung arti “kesalahan” atau “sesuatu yang tidak baik”. Akar katanya dari al-tsarab (kerusakan, mencerca atau mencela) atau al-tatsrib (tempat membuat atau mengambil dosa), sementara Rasulullah SAW lebih menyukai nama yang baik-baik, maka dipilih dan disebutlah untuk wilayah ini dengan nama “al-madinah” (kebaikan). Beliau sangat serius memperhatikan urusan al-ghirasaat, yakni kebijakan-kebijakan tentang pertanian dan mendorong kepada para sahabatnya untuk mengolah lahan pertanian dibidang yang lainnya saat itu.


1.             Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Madinah sebagai Pusat Peradaban Islam

Madinah al-Munawwarah merupakan satu-satunya kota yang sengaja diciptakan oleh Nabi SAW untuk memenuhi berbagai keseimbangan, karena prinsip-prinsip pengembangannya berasal dari dimensi batini kewahyuan Al-Qur’an dan sains sakral yang termuat di dalamnya. Sebelum kedatangan Nabi SAW, Madinah adalah daerah yang subur dan sangat terkenal dengan wilayah-wilayah yang terpisah, dan masing-masing suku di dalamnya saling bersitegang untuk  saling mempertahankan wilayah kekuasaannya, terutama dari kelompok-kelompok Yahudi dan Arab dengan cara menciptakan benteng-benteng pertahan yang mencapai 59 buah. Sejak kedatangan Rasulullah SAW dan terciptanya masyarakat baru, maka pola kegiatan kesukuan semakin tergeser menjadi bentuk peradaban yang universal atas dasar ikatan Din-Islam. Dari sini Rasul SAW juga menjadi panutan politik pemerintahan yang tentunya juga membutuhkan tempat bagi kegiatannya dalam proses pembinaan umat, baik dalam aspek agama, politik, sosial budaya dan ekonomi.

Namun setelah Nabi SAW mengadakan pembangunan di wilayah ini, seluruh kuburan telah di satukan di daerah Baqi’ sebagai tempat pemakaman umum bagi seluruh kaum Muslimin di Madinah, khususnya sejak tahun 631 M/10 H. Pembangunan antar daerah yang satu dan daerah lainnya, terutama ke pusat kegiatan Islam di Masjid Jami, tempat Nabi SAW. Rumah-rumah penduduk pun telah mengikuti rute-rute jalan yang telah dibangun agar mempermudah kegiatan sosial mereka dalam membangun peradabannya. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibn Abbas r.a, Rasulullah SAW. Menyatakan, “janganlah kalian saling menyempitkan, bagi seseorang diperbolehkan untuk menyimpan kayu bakarnya di emperan rumah tetangganya, dan bila kalian saling berpapasan di jalanan, maka berilah dia jarak beberapa meter”. Dalam upaya melakukan pertahanan keamanan, penduduk Muslim Madinah juga telah membangun benteng pertahanan atas usul Salman al-Faris, yakni Benteng Handaq berupa parit yang membentang dari benteng Bani Harits sampai daerah al-Madad, benteng Bani Hazm dari Bani Salmah sebelah barat Masjid al-Fath. Rasulullah SAW juga telah menempatkan pos-pos militer sekitar 3 mil di luar kota Madinah, sebagai strategi untuk mempermudah menghadapi musuh dan juga untuk menjaga kedisiplinan mereka. Komandan perang mereka diantarany Usamah bin Zaid dengan setia menunggu berbagai intruksi dari Rasulullah SAW. Sarana lain adalah yang berkaitan dengan keperluan kesehatan masyarakat terutama sebagai penanganan akibat luka-luka peranga yaitu balai pengobatan. Disini terkumpul ahli-ahli pengobatan yang terkenal saat itu dalam lembaga “al-Bimaristanat”yakni orang-orang Madinah yang berpengalaman dalam menangani berbagai penyakit berikut pengobatannya.

Khusus untuk menerima tamu terutama dari delegasi yang datang dari suku-suku luar kota Madinah kaum Muslimin telah menyiapkannya tempat-tempat yang dianggap sangat memadai yang dinamai “dar al- di-fan” atau dar al-adyaf, yang ini lebih populer sejak tahun 11 hijrah. Untuk menjaga kebersihan dan keserasian lingkungan, saran umum  yang bisaa digunakan sebagai tempat pembuangan sampah dan kotoran serta tempat penyembelihan dan pemotongan hewan ternak juga telah disediakan secara tersendiri, terpisah dari pemukiman penduduk yang dikenal dengan nama “al-mashani”. Diriwayatkan Abu Yusuf , bahwa Nabi SAW selalu memotivasi seperti ini, “Barang siapa yang bisa mengolah lahan tidur (ihya al-mawat), maka hasilnya adalah milik si pengolahnya, tetapi tidak bagi mereka yang mendapatkannya secara zalim”


2.             Pola Persaudaraan (Muakhkhah) dan Terbentuknya Nilai Kasih Sayang

Peresmian dan kesepakatan untuk membangun pola persaudaraan ini di lakukan oleh Nabi SAW di kediaman Anas bin Malik antara kaum Muhajirin dan Anshar secara berpasangan-pasangan. Seterusnya Rasulullah SAW berpesan kepada setiap dua orang di antara mereka dengan sabdanya “Bersaudaralah kalian berdua di jalan Allah, setiap dua orang bagaikan dua bersaudar”. Bahkan pada konteks selanjutnya, beliau menjelaskan, “di antara dua orang ini tidak akan saling mencintai di jalan Allah, kecuali di antara keduanya saling mencintai karena  Allah pula, karena di antara keduanya selalu berupaya untuk saling mencintai saudaranya yang lain”. (H.R. Ibn Hiban dan Hakim dari Anas bin Malik).

Alasan kebijakan ini begitu penting dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah selain sebagai upaya pembentukan kekuatan masyarakat Islam juga secara fragmatis dilakukan sebagai upaya untuk menolong kelompok Muhajirin dalam menopang sendi-sendi kehidupan ekonomi yang kian hari kian mendesak.

E.            Pola Kesatuan Antarumat Beragama dalam bermasyarakat dan Bernegara



1.             Dasar-dasar Keanggotaan Umat Islam Dalam Kesatuan Masyarakat Madinah

Dalam mengidentifikasi manakah orang Muslim atau non-Muslim, dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengarah pada bukti-bukti individual, yakni dengan meng-Esa-kan Allah SWT dan mengakui bahwa nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Kedua, menerap pada bukti-bukti sosialnya, yakni dengan amalan-amalan shalat, zakat, haji, dll.

2.             Pluralisme (keragaman) dan Kesatuan dalam Bermasyarakat dan Bernegara

Madinah merupakan daerah yang heterogen akan suku dan budaya. Islam sebagai ajaran wahyu sudah menghormati akan adanya pluralism/heterogenitas itu. Oleh karena itu, pluralism itu bisa diadikan sebagai senjata untuk memperjuangkan Islam, terutama ketika masih membutuhkan uluran tangan dalam upaya pembinaan kemasyarakatan.

Dalam kaitan ini pula, Al-Qur’an banyak menegaskan bahwa pada saat itu begitu banyak ayat turun berkaitan dengan pembinaan masyarakat. Hal ini secara langsung mempunyai hikmah yang besar, yakni agar Muslim yang satu dengan yang lainnya bisa saling mengenal.[2]


F.             Karakteristik dan Sistem Kehidupan Masyarakat Madinah

Watak dan karakteristik masyarakat Madinah dapat dicirikan sebagai berikut, pertama; adanya sistem sosial yang bersifat egaliter (persamaan hak). Kedua; adanya sistem persaudaraan yang mapan yang diikat atas dasar tali agama. Ketiga; munculnya semangat demokrasi dan keterbukaan. Keempat; adanya sistem musyawarah untuk mufakat. Kelima; adanya penghargaan sosial berdasarkan prestasi. Keenam; adanya semangat di kalangan mereka dalam hal totalitas spiritual keagamaan.

Berikut ini adalah beberapa fakta yang bisa menjelaskan kenyataan yang tumbuh dan berkembang serta yang berlaku di kalangan masyarakat Madinah.

1.      Pengakuan terhadap pluralitas

2.      Persamaan, Persaudaraan dan kerja sama sosial

3.      Musyawarah

4.      Partisipatif dan profesionalisme

5.      Penegakan keadilan bersama

6.      Amar ma’ruf nahi munkar

7.      Tanggung jawab sosial bersama (takaful ijtima’i)

8.      Pelestarian lingkungan hidup

9.      Spiritualitas kolektif


G.           Tradisi dan Pranata Sosial Kehidupan Masyarakat Madinah

Masyarakat plural Madinah mempunyai tradisi kemasyarakatn yang heterogen. Berbagai sistem sosial dan pranata budaya yang mengikutinya secara tidak langsung terus bermunculan sejalan dengan kebutuhan dan kreativitas yang mereka lakukan.

Secara sistemis,  kekreativitasan tersebut kembali pada akarnya yakni al-Islam; apakah untuk memperkuatnya atau menggambarkannya secara utuh wajah agama ini dalam dimensi sosial budayanya.

Bila dilihat secara makro, lembaga-lembaga kepranataan pada periode ini relative tidak berbeda dengan kondisi sekarang. Secara garis besarnya pranata-pranata sosial tersebut diantaranya adalah:

1.    Pranata Sosial Ekonomi
2.    Pranata Politik dan Pemerintahan

3.    Pranata Militer

4.    Komunikasi dan Interaksi Sosial


Hubungan sosial diantara anggota masyarakat Madinah tampaknya telah terpola dengan hubungan hak dan kewajiban yang saing melengkapi:


1.    Dalam hal tolong-menolong pada aspek kebaikan dan ketakwaan

2.    Saling mengingatkan dalam hal kebaikan dan memberikan kasih sayangnya.

Semua itu terjadi karena seluruh anggota masyarakat telah menyadari akanpentingnya tolong-menolong dan saling mengingatkan diantara sesame anggota masyarakat.


Abu Dzar al-Ghifari mengatakan, “tidak ada di antara saudara kita yang membenci seorang apabila ia berbuat salah, kecuali ia hanya membenci tindakannya saja”.












[1]               Philip K Hity adalah seorang orientalis


[2]               “Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal” (Q.S. Al-Hujurat; 13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar

.: Related Blog :.