Kamis, 28 Mei 2009
What do you think about this photos?
Proklamasi Republik Indonesia dan RRI
Oleh Drs. T. TJUARNA ADIKARYA
KONON, teks bersejarah itu ditulis Bung Karno sendiri, dengan tulisan tangan. Menggunakan kertas tulis bergaris biru, yang disobek dari notes. Teks itu kemudian diketik Sajuti Melik. Kemudian diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno, sedangkan teks tulisan tangan yang tertinggal ditemukan dan disimpan oleh B.M. Diah.
Atas usaha Sajuti Melik, disepakati bahwa yang menandatangani teks itu, Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa
"Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun bangsa
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan tekad itu. Dengarlah proklamasi kami!
Proklamasi
Kami bangsa
Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Atas nama bangsa
Soekarno-Hatta
Demikianlah, saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita, negara merdeka, negara Republik
**
Untuk tersebarluasnya peristiwa bersejarah ini, para pegawai kantor Domei (sekarang LKBN Antara), menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan melalui radio. Mereka membentuk badan kerja sama dengan para pejuang di Sedenbu (Jawatan Penerangan), kantor Domei, dan radio. Nama badan kerja sama itu disingkat "Sendor". Organisasi inilah yang secara matang merencanakan perebutan dan pengambilalihan Bandung Hoso Kyoku dari Jepang.
Guna mendukung rencana tersebut, segera dibentuk organisasi penyiarannya. Secara musyawarah, menyetujui Sam Kawengkeh sebagai pimpinan umum, R.A. Darja sebagai pimpinan siaran, R. Herman Gandasomantri pimpinan tata usaha, dan Bambang Sumiskun sebagai pimpinan teknik. Organisasi ini pula yang bertugas meningkatkan kontak-kontak dengan para pejuang radio di Jakarta. Maksudnya untuk mempersiapkan call sign, tune pembukaan, dan lain-lainnya berkaitan dengan radio siaran.
Sendora berhasil dibentuk atas anjuran dan bimbingan tokoh politik, Oto Iskandardinata. Tokoh dengan julukan "Si Jalak Harupat" ini, sebulan sekali mengisi acara dan pidato di Bandung Hoso Kyoku. Beliau pulalah yang selalu membina semangat juang para pemuda yang bekerja di bidang komunikasi. Sekaligus selalu memberikan informasi tentang politik dalam dan luar negeri.
Selama masa persiapan, para pimpinan Sendora meningkatkan hubungan komunikasi dengan para pejuang. Termasuk dengan para pejuang radio siaran di
Namun, sampai tanggal 16 Agustus 1945, Jakarta Hoso Kyoku masih dijaga ketat bala tentara Jepang. Dengan demikian, tidak memungkinkan melakukan penyiaran melalui stasiun radio tersebut.
Sementara itu, di Bandung, pada saat yang sama terjadi peristiwa heroik yang dilakukan para pemuda pejuang radio, yang berhasil merebut dan mengambil alih studio dan pemancar Radio Bandung Hoso Kyoku, dari tangan Jepang.
Akhirnya, para pejuang radio di Jakarta memutuskan, agar tugas penyiaran proklamasi kemerdekaan itu, diambil alih Radio Bandung melalui saluran modulasi PTT dari Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Untuk itu, pimpinan Radio Bandung menugaskan dua orang teknisinya (Sukiyun dan Mislan) ke
Atas musyawarah dan permintaan para pejuang di
K.S. Kostaman, salah seorang wartawan RRI Bandung mengemukakan, bahwa kurir itu adalah Mohammad Adam, sahabat Adam Malik (mantan wapres RI) yang juga dikenal sebagai tokoh wartawan, yang pada saat detik-detik proklamasi, memimpin kantor berita Domei. Menjelang akhir hayatnya, Mohammad Adam bekerja pada kantor berita LKBN Antara di Bandung. Hal ini diungkap K.S. Kostaman dalam tulisan di buletin Kumandang terbitan RRI Bandung, edisi September 1987. Pemimpin umum/penanggung jawab penerbitan buletin saat itu adalah, Drs. H.R. Baskara (Kepala RRI Bandung).
Teks proklamasi diserahkan Moh. Adam kepada R.A. Darya langsung sebagai pimpinan siaran Radio Bandung, diterima pukul 17.00 WIB. Pada saat yang sama, RRI Jakarta berhasil mengudarakan teks proklamasi yang dibacakan Yusuf Ronodipuro dengan pemancar berkekuatan 1 KW saja sehingga jangkauannya terbatas dan tidak dapat diterima luar negeri.
Di Bandung, teks proklamasi dibacakan kembali oleh penyiar Radio Bandung. Kebetulan Radio Bandung memiliki pemancar khusus luar negeri, yaitu pemancar Gunung Malabar. Saat itu, pemancar ini yang terbesar kekuatannya di nusantara. Pemancar ini diresmikan 1923 untuk kepentingan Belanda juga hubungan dengan negara Eropa lainnya memiliki kekuatan 10 KW. Beberapa tahun kemudian hubungan komunikasi ini diperluas lagi sampai ke negara-negara
Radio Malabar ini pula yang kemudian mencatat sejarah bagi Republik
Mengutip tulisan dalam buku 60 Tahun Radio Republik
Itulah suara penuh keyakinan dari R.A. Darya, dengan menyebutkan kalimat tersebut ia mengawali siaran Radio Bandung. Kalimat ini diilhami BBC London. Penyebutan Radio Republik
Dalam mengawali siarannya, para pejuang radio tidak berhasil menemukan lagu mars, yang ada hanya Kolonel Boogie sehingga lagu itulah yang diputar berulang-ulang sebagai ilustrasi musik menjelang dan mengakhiri pembacaan teks proklamasi oleh para penyiar Radio Bandung. Untuk tune-nya diputuskan menggunakan lagu kesenian Sunda yaitu Degung Ladrak dan Longser. Hal ini sesuai dengan pengakuan Imron Rosadi, pemuda pejuang
Sesungguhnya, para pemuda radio dan pejuang kemerdekaan di seluruh Indonesia juga luar negeri saat-saat menjelang kekalahan Jepang dari Sekutu sudah mendengar berita tentang dibomnya Hirosima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki sehari kemudian. Kehancuran dua
Hal ini pulalah yang menyebabkan peristiwa penculikan Rengasdengklok terhadap Ir. Soekarno. Adam Malik sebagai wartawan muda dan Mr. Ahmad Subarjo mendengar berita-berita kekalahan Jepang dari berita luar negeri sehingga ia beserta tokoh muda lainnya menginginkan
Sementara itu, saksi sejarah Imron Rosadi mengaku mendengar pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 dari Radio Bandung. Pada malam Jumat sekitar pukul 24.00 WIB sedang mengadakan salat malam di Jammi Mulla Hammadi dipimpin K.H. Usman Ayip, sementara doa oleh Imron Rosadi. Dalam doanya itu Imron Rosadi memohon agar
Menjelang tengah malam saat mencari-cari gelombang radio, Imron Rosadi mendengar suara Radio Bandung. Hal itu diyakininya karena Imron yang saat itu menjabat sebagai Perhimpunan Pemuda Indonesia di Bagdad Irak mendengar penyiarnya menyapa pendengar dengan "Di sini
Mendengar siaran itu, H. Imron Rosadi meloncat kegirangan. Sambil berderai air mata ia berteriak, "Doa kita makbul, doa kita makbul". Apakah dengan demikian dapat dikatakan doa para pemuda Indonesia di Bagdad itu makbul adanya? Atau hanya kebetulan saja?
Akan tetapi kita harus yakin, bahwa doa mereka dikabulkan. Sebagaimana janji Allah Swt dalam firman-Nya, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu!"
Sementara itu, suasana Studio Radio
Di luar studio, beberapa pemuda Radio Bandung sibuk berjaga dari kemungkinan serangan tentara Jepang. Mereka adalah Sam Amir, Herman Gandasomantri, Mohammad Salman, Odas Sumadilaga, Sukaesih, Abdul Rasid Razak, Memed Sudiono, Achdiyat, serta Brotokoesoemo.
Tepat pukul 19.00 WIB, berkumandanglah lagu kebangsaan "Indonesia Raya", disusul suara penyiar R.A. Darya yang penuh wibawa mengucapkan "Di sini Bandung, siaran radio Republik Indonesia", dilanjutkan suara Sakti Alamsyah yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Suara penyiar Sakti Alamsyah tersebut terpancar oleh siaran Radio Bandung melalui dua pemancar bekas Hoso Kyoku dan empat pemancar lainnya milik PTT pada gelombang pendek 124 meter, 109 meter, 19 meter, 31 meter, dan 41 meter. Siaran ini juga dipancarkan melalui pemancar-pemancar Palasari di Dayeuhkolot dan Malabar yang masing-masing berkekuatan 20 KW dan 100 KW. Pemancar milik Radio Bandung di Tegallega saat itu berkekuatan 1 KW dan yang di Ciumbuleuit kekuatannya 10 KW.
Tercatat tokoh-tokoh pejuang dari jawatan PTT yang ikut membantu pemuda Radio Bandung, di antaranya adalah Sudirjo, Soeharto, Sasudin, Rubinkain, dan Ir. Hok Tek Hong. Di Jakarta, pemuda Radio Jakarta yang telah mengambil alih Hoso Kyoku setempat pada 17 Agustus 1945. Selain Yusuf Ronodipuro yang membacakan teks proklamasi, juga beberapa penyiar lainnya. Di antaranya adalah Raden Tatang Sastrawiria yang telah menerjemahkan teks proklamasi dalam bahasa Sunda. Di Radio Bandung, teks proklamasi dalam bahasa Sunda ditulis R.A. Darya. Untuk bahasa lainnya, penulis belum mendapat informasi karena proklamasi kemudian dibacakan dalam berbagai bahasa daerah di
Teks proklamasi itu menurutnya disiarkan melalui radio gelap di Jalan Thamrin Jakarta 17 Agustus 1945 sore.
Rd. Tatang kelahiran Tarogong Garut merupakan putra bungsu Sastrawiria dan Nyi Rd. Siti Resmana. Ia masih ingat, untuk bahasa Indonesia dibacakan Yusuf Ronodipuro. Selain itu, ia bersahabat dengan Adang Kadarusman, Mr. Oetoyo, Prof. Darajat, Baheramsyah, Bahrum Rangkuti, dan Mariam yang kemudian menjadi istrinya.
Selama Agustus para pejuang radio terus mengumandangkan proklamasi ke seluruh penjuru tanah air dan dunia. Bulan September beberapa radio di Jawa berkumpul di Jakarta untuk membentuk radio nasional, yang kelak dinamai Radio Republik Indonesia, tepatnya 11 September.
Sejak berdirinya RRI, para pejuang radio terus berupaya mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Penulis sebagai bagian dari RRI berharap, sejarah ini tidak akan dilupakan generasi selanjutnya. Dan terpenting adalah tetap terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa, seperti diingatkan Allah Swt, "Dan janganlah kamu bercerai-berai, maka akan lemahlah kamu dan kehilangan kedaulatanmu --dan bersabarlah-- sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". (Q.S. Al-Anfal: 46).
Penulis, mantan Kepala RRI Bandung.
Sejarah Penamaan Indonesia
Pendahuluan
Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah. Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Penamaan Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa "sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain." Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia#Nama_Indonesia
Kezaliman Dalam Penulisan Sejarah
Oleh Y. Herman Ibrahim
Penulis, pengamat politik dan militer.
Saya harus minta maaf kepada ilmuwan sejarah untuk mengatakan bahwa sejarah adalah ilmu yang paling tidak ilmiah. Argumen saya adalah bahwa sesuatu dikatakan ilmiah pertama-tama harus objektif. Kedua, proses dan hasilnya harus terukur secara kuantitatif ataupun kualitatif. Ketiga, kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris atau paling tidak secara laboratoris. Sejarah menjadi tidak objektif karena sejarah ditulis oleh penguasa dan disebarluaskan lewat kekuasaannya itu. Ukuran kebenarannya paling-paling hanya pada “waktu terjadinya peristiwa” bukan pada substansi. Juga ada kesulitan dalam menguji kebenaran sejarah secara empiris maupun laboratoris karena metodologinya sarat kepentingan kekuasaan.
Tengok kisah kebohongan sejarah ihwal pertemuan Kartosoewiryo dengan Westerling di Gedung Pakuan
Di pengadilan dia membual pernah menyaksikan pertemuan antara S.M. Kartosoewiryo dan wali negara Pasundan R.A.A. Wiranatakusumah dan bekas kapten Westerling. Dia juga berkisah melihat kapal selam menurunkan perlengkapan perang, senjata, dan munisi, serta droping dari pesawat terbang asing untuk melengkapi mesin perang DI/TII. Anehnya, di tulisan Her Suganda dikatakan bahwa Kartosoewiryo gagal melaksanakan ambisinya karena lemahnya persenjataan dan kesulitan komunikasi. Menurut Her Suganda, Kartosoewiryo hanya bisa mengacau di daerah Sukaraja dan Cikalong, Tasikmalaya Selatan.
Rakyat
Krisis sejarah berikutnya adalah pengaburan Kebangkitan Nasional yang dimanipulasi seakan-akan berawal dari berdirinya paguyuban Boedi Oetomo. Bandingkan dengan Syarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan 25 tahun lebih tua daripada Boedi Oetomo. Organisasi ini menjelma menjadi Syarikat Islam yang terbuka untuk seluruh rakyat
Akhirnya di hari-hari kehidupan bangsa yang konon telah merdeka selama 63 tahun ini, umat Islam selalu terpinggirkan. Bangsa ini memilih pendidikan sekuler dan mengikuti strategi Yahudi yang memisahkan agama dengan politik. Mayoritas umat Islam terbawa arus pemikiran yang menolak nilai-nilai agama menjadi sumber hukum positif. Sekarang dengan kecanggihan media yang dikontrol asing, perlawanan Islam politik pada tingkat tertentu dikategorikan sebagai tindak terorisme. Hasbunallah wa nimal wakil. Amin. ***
Sumber : Koran PR/Opini/18 Februari 2009
.: Related Blog :.
-
SEJARAH PEMIKIRAN KHAWARIJ: DARI POLITIK KE TEOLOGI - Oleh Dr.Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag Makalah ini akan menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan pol...
-
Darurat Hukum Anak di Indonesia - Seorang siswa/i SD-SMA yang melakukan tindakan kejahatan yang dilakukan orang dewasa, tidak pantas untuknya disebut sebagai anak-anak lagi yang dengannya b...
-
-
-
TULISAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM - PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ILKHAN (1258-1343 M) Oleh : Ading Kusdiana E-mail: adingkusdiana@yahoo.co.id A.Pendahuluan Dinasti Ilkhan dikenal dalam ...
-
Dialog Mencerahkan: “Agama itu racun…” katanya. - * Dalam perjalanan pulang setelah mengikuti Super Investor Conference di Paris bulan lalu, di atas pesawat Etihad Airways dari Paris ke Abu Dhabi, saya dud...