Kamis, 17 Juni 2010

Sakuntala (Sakoentala)

Bismillahirrahmaanirrahim

Wisma Sakoentala (Sakuntala) adalah nama sebuah kosan di daerah Cipadung, Cibiru, Kabupaten Bandung Timur. Pemilik wisma ini adalah Bpk. Ujang Wawan. 
Nama "sakoentala" katanya, "diberikan oleh mahasiswa yang dulu pernah nge-kost di sana, tapi lupa lagi siapa namanya..." ujar pak Ujang kepada Sdr. Jaya Abi Putera ketika ngobrol santai di blangkon Wisma.
Tak terfikir oleh saya sendiri mengenai asal usul dari kata ini. Rasa penasaran (baca: curiosity) pun selalu mengganggu pikiran saya. Alhasil, saya jadi bingung dalam beberapa waktu yang cukup lama. 
Alhamdulillah, akhirnya pada malam ini (17 Juni 2010) pukul 18.38 WIB, rasa penasaran saya pun sirna dengan diketemukannya asal usul nama dari Sakuntala (Sakoentala).
Masya Allah...^_^
Silahkan baca dengan nyantai aja ya... 
Khususnya buat anak-anak "Wisma Sakoentala"


Sakuntala (Sanskerta: शकुन्‍तला; Shākuntalā) adalah nama permaisuri Raja Duswanta, leluhur Pandawa dan Korawa dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan Ibu dari Raja Bharata yang menurunkan keluarga Bharata. Ia juga merupakan anak angkat Bagawan Kanwa. Konon Ibu kandungnya adalah bidadari Menaka dari kahyangan.

                       Gambar 1.1
Sakuntala, tokoh dalam agam Hindu

Asal-usul
Riwayat Sakuntala muncul sekilas dalam kitab Adiparwa. Dikisahkan ada seorang pertapa bernama Wiswamitra, dulu merupakan seorang Raja namun kemudian meninggalkan kehidupan istananya karena ingin mendapatkan kejayaan seperti Bagawan Wasistha. Tapanya sangat khusuk, tak tergoyahkan. Melihat hal tersebut, Dewa Indra mengutus bidadari Menaka agar menguji tapa Sang Wiswamitra. Bidadari Menaka terbang ke tempat Wiswamitra bertapa, diiringi Dewa Bayu dan Semara.
Ketika sampai di tujuan, bidadari Menaka menjalankan tugasnya. Bidadari tersebut menggoda Sang Wiswamitra sehingga nafsu birahinya muncul. Bidadari Menaka kemudian dihamili oleh Sang Wiswamitra. Setelah merasa tugasnya telah diselesaikan dengan baik, bidadari Menaka terbang kembali ke kahyangan sementara Sang Wiswamitra pergi meninggalkan tempat pertapaannya karena gagal. Di tepi sungai Malini, Sang bidadari melahirkan bayi perempuan. Bayi tersebut ditinggalkan seorang diri di sana sementara ibunya terbang ke kahyangan tanpa cinta kasih. Kemudian sang bayi dirawat oleh burung Sakuni.

Bagawan Kanwa yang sedang mencari kembang di sekitar sungai Malini terkejut melihat seorang bayi tergeletak, dirawat oleh burung Sakuni. Lalu bayi itu dipungut, diberkahi, dipelihara, dan diberi nama Sakuntala karena dirawat oleh burung Sakuni.

                   Gambar 1.2
Sakuntala putus asa. Lukisan karya Raja Ravi Varma.
Sakuntala dan Raja Duswanta
Pada suatu ketika, Prabu Duswanta pergi berburu sampai ke tengah hutan di kaki gunung Himawan. Setelah masuk jauh ke tengah hutan, ia menemukan lokasi pertapaan yang sangat indah, yang ternyata kediaman Bagawan Kanwa. Di sana ia disambut dengan ramah oleh puteri cantik jelita bernama Sakuntala. Melihat wajah sang puteri petapa yang sangat elok, timbulah keinginan Sang Raja untuk menikahinya. Sakuntala menolak, namun dirayu terus oleh Sang Raja. Akhirnya Sakuntala bersedia menikahi Sang Raja dengan syarat bahwa anak yang dilahirkannya harus menjadi pewaris tahta Sang Raja. Karena diselimuti rasa cinta, Sang Raja bersedia memenuhi permohonan tersebut.
Kemudian Sang Raja bercinta dengan Sakuntala. Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan pertapaan karena terikat oleh kewajibannya sebagai seorang Raja. Ia pun pulang dan berjanji bahwa kelak ia akan kembali lagi ke pertapaan tersebut untuk menjemput Sakuntala beserta anaknya jika sudah lahir.
Ketika Sakuntala termenung mengenang kepergian Sang Raja, Bagawan Kanwa pulang dari hutan sambil membawa bunga dan kayu bakar. Sakuntala hanya diam membisu. Karena kesaktiannya, Bagawan Kanwa mengetahui kejadian yang dialami Sakuntala meskipun Sakuntala bungkam. Bagawan Kanwa membesarkan hati Sakuntala dan memberinya kata-kata yang lembut. Nasihat Bagawan Kanwa menyejukkan hati Sakuntala.


                  Gambar 1.3
Sakuntala menulis surat kepada Duswanta. Lukisan karya Raja Ravi Varma.
 

Kelahiran Sang Bharata

Dari hasil hubungannya dengan Raja Duswanta, lahirlah seorang putera rupawan, diberi nama Sarwadamana. Tanda-tanda ia merupakan calon seorang penguasa dunia tampak dari gambar cakra di telapak tangannya. Setelah anaknya lahir, Sakuntala dengan setia menunggu kedatangan Raja Duswanta. Namun Sang Raja tak kunjung datang. Hati Sakuntala menjadi semakin sedih memikirkan masa depan anaknya yang tak kunjung dijemput sang ayah sebagai pewaris kerajaan. Meliha hal tersebut, Bagawan Kanwa menyuruh Duswanta beserta anaknya agar pergi menghadap Sang Raja di ibukota.

Penolakan Sang Raja

Karena ingin agar anaknya menjadi Raja, Sakuntala rela pergi ke ibukota. Setelah sampai di ibukota, Sakuntala menghadap Sang Raja yang sedang bersidang di istana kerajaan. Di depan umum, Sakuntala menjelaskan maksud kedatangannya bahwa ia hendak menyerahkan puteranya, Sarwadamana, sebagai putera mahkota karena janji Sang Raja. Mendengar pengakuan tersebut, Raja Duswanta menolak kebenaran perkataan Sakuntala. Bahkan ia menolak telah menikah dan memiliki anak dari Sakuntala. Ia juga menghina dan mencela Sakuntala di muka umum. Sakuntala menangis karena dipermalukan. Bagaimana pun penjelasannya agar Sang Raja mau mengakui Sarwadamana sebagai putera, Sang Raja selalu mengelak.
Tiba-tiba terdengar suara dari langit yang membenarkan perkataan Sakuntala. Raja tak bisa mengelak lagi lalu ia menyongsong dan memeluk Sakuntala beserta anaknya. Kemudian ia menagis karena bahagia sambil berkata, "Duhai Sakuntala, sebenarnya aku sangat gembira akan kedatanganmu. Namun aku terhalang karena kedudukanku sebagai Raja. Apa kata dunia bila akau menikahimu yang tidak dikira sebagai istriku? Kini kesangsian itu tak ada lagi, karena semuanya telah mendengar sabda dari langit yang membenarkan ucapanmu. Karena itu, engkau adalah istriku dan Sarwadamana adalah puteraku. Ia akan kuangkat sebagai Raja menggantikan kekuasaanku. Namanya kuganti menjadi Bharata karena berdasarkan sabda dari langit".
Setelah Raja Duswanta berkata demikian, ia menyerahkan tahta kepada Sarwadamana yang berganti nama menjadi Bharata. Kemudian Bharata menaklukkan daratan India Kuno (Bharatawarsha) dan menurunkan Kuru, yang menurunkan Wangsa Kaurawa (Korawa).

Wallahu'alam 

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sakuntala

Rabu, 16 Juni 2010

Foto-Foto Peninggalan Nabi Muhammad SAW

Bismillahirrahmaanirrahiim

Segala Puja dan Puji hanyalah milik Allah SWT. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpah curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, kepada para keluarganya, para sahabatnya, para tabi'it tabi'in, serta semoga kepada kita semuanya selaku umatnya di akhir zaman ini. Amin
Rasulullah SAW adalah makhluk mulia yang telah Allah ciptakan sebagai Usmatun Hasanah atau suri tauladan yang baik bagi sekalian alam umat manusia.
Perjalanan yang panjang telah ditempuh oleh beliau. Berjuta rintangan dan halangan telah dilaluinya dengan gagah berani. Kesahajaannya telah menjadikannya manusia mulia (Insan Kamil). Karena kejujurannya, masyarakat Mekah pun memberinya gelar kehormatan yakni Al-Amin yang artinya "yang terpercaya".
Peninggalan-peninggalan baginda Rasulullah SAW di bawah ini adalah sebagai sebuah media untuk memotivasi umat muslim saat ini agar lebih mencitai Rasul tercinta dengan cara menjalankan segala sunahnya dan menjauhi segala apa yang telah Allah SWT larang.
Semoga bermanfaat.

 
Gambar 1.1
Baju gamis yang pernah dipakai oleh Rasulullah SAW



Gambar 1.2
Kotak tempat penyimpanan tusuk gigi Rasulullah SAW








Kedatangan Hinduisme di Indonesia

Oleh: Sumasongko Sastrowardoyo

Kedatangan Hinduisme di Indonesia umumnya dianggap terjadi pada permulaan era Kristiani, karena adalah waktu beberapa abad tahun M, bahwa kerajaan-kerajaan muncul yang, dalam organisasi dan prinsip martabat raja, menyerupai sekali dengan kerajaan-kerajaan terdahulu di Hindustan (=India). Meskipun proses yang tepat kapan hal ini berkembang belum dapat ditentukan, terdapat kemungkinan bahwa raja-raja pertama tertarik oleh budaya para pedagang Hindu yang sering mengunjungi pantai-pantai mereka.

Hal ini tidak dapat meniadakan segala kemungkinan untuk meragukan lagi bahwa para putera raja-raja India, baik secara sukarela ataupun dibuang karena alasan-alasan politik, menetap di Indonesia, dan melalui pernikahan dengan puteri-puteri penguasa-penguasa bumiputera, berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan mereka sendiri di bawah khattulistiwa. Apapun prosesnya, negara-negara Hindu pertama kali timbul di tempat-tempat yang merupakan pelabuhan-pelabuhan singgahan para pedagang dari India sejak zaman-zaman purba.

Dengan kedatangan para pendeta dan para guru, secara berangsur-angsur berkembang suatu budaya dengan nada-nada tambahan, yang terdiri atas konsepsi raja, diterimanya hukum-hukum suci Hinduisme, dan dipergunakannya bahasa Sansakerta untuk upacara-upacara agama, karena bahasa bumiputera tidak memadai untuk maksud ini, sangat dalam mempengaruhi budaya golongan aristokrasi, akan tetapi memberi kesan sedikit kepada golongan besar petani.

Hinduisme memperkenalkan suatu sistem kasta yang mengagumkan mencerminkan bentuk feodal yang berkembang. Para pendeta di atas, diikuti oleh golongan perajurit, termasuk raja dan para pengikut beliau; kemudian para pedagang, dan para sudera (para petani) merupakan yang paling rendah sendiri. Garis-garis antara kasta-kasta,ditarik tajam, bahkan sampai sedemikian sehingga kasta-kasta ini menciptakan bahasa-bahasa berbeda-beda waktu seseorang berbicara dengan seorang yang sederajad, seorang atasan, atau seorang kasta rendah.

Dalam budaya lain orang tidak akan menemukan suatu struktur sosial di mana bahasa yang terpisah dipergunakan untuk mengenal tingkat-tingkat sosial yang berbeda. Orang-orang Indonesia, sebelum kedatangan orang-orang Hindu sudah mengembangkan budaya mereka sendiri,pengolahan sawah-sawah yang rumit, perdagangan internasional, dan, sedikitnya di pulau Jawa, suatu struktur politik yang sangat terorganisasi. Orang-orang Hindu membawa agama mereka, dan mereka memperkenalkan batik (?). uang, dan sistem metris.

Orang-orang Hindu juga mempengaruhi administrasi pemerintahan dan yurisprudensi (ilmu hukum), akan tetapi dalam administrasi pemerinahan dan yurisprudensi (ilmu hukum), dasar-dasar lembaga-lembaga Indonesia tetap dipakai. Arsitektur mula-mula sangat dipengaruhi oleh arsitektur India, terutama karena bangunan-bangunan besar dan tempat-tempat perlindungan tidak dikenal sebelum kedatangan orang-orang Hindu. Berangsur-angsur, bagaimanapun, berkembang gaya Hindu-Jawa yang nyata, yang sangat beda dari arsitekur Hindu di India.

Hasilnya adalah suatu proses budaya dengan gagasan-gagasam dan perubahan-perubahan secara baru dari Hinduisme, diterima, akan tetapi budaya Indonesia yang lama tidak pernah dihapuskan. Asia Tenggara dibagi ke dalam sejumlah kerajaan-kerajaan kecil, di antara kerajaan-kerajaan ini salah satu akan mengemuka. Dari fase ke fase, kerajaan-kerajaan ini berhasil untuk meluaskan kekuasaannya atas wilayah yang lebih luas, kadang-kadang luas sekali. Funan merupakan kerajaan pertama yang terkenal sangat besar kekuasaannya di tanah daratan Asia Tenggara, yang sekarang bernama Kambuja. Kerajaan ini mungkin berasal dari abad pertama Masehi, akan tetapi petunjuk tertua Tiongkok mengenai kerajaan ini menyatakan bahwa luasnya sampai ke Jazirah Melayu, dan armadanya dikatakan menguasai lautan-lautan. Jatuhnya kerajaan Funan pada kira-kira abad keenam Masehi, membuka jalan untuk sebuah kerajaan baru di Sumatera, yaitu Sriwijaya.

Wallahu'alam

Sumber: www.newhistoria.blogspot.com

Senin, 14 Juni 2010

Sejarah Sumedang Larang

Pendahuluan
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.

Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.

Sejarah Penamaan Sumedang Larang
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Pemerintahan Berdaulat
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
  • Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
  • Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
  • Kiyai Demang Watang di Walakung.
  • Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
  • Santowaan Cikeruh.
  • Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.

Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
  • Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
  • Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
  • Kiyai Kadu Rangga Gede
  • Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
  • Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
  • Raden Ngabehi Watang
  • Nyi Mas Demang Cipaku
  • Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
  • Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
  • Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
  • Nyi Mas Rangga Pamade
  • Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
  • Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
  • Pangeran Tumenggung Tegalkalong
  • Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Wallahu'alam

Perbedaan Antara Sunni dan Syi'ah

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?

Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah. Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.

Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.

Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.

Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.

Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

1.      Ahlussunnah         : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a)      Syahadatain
b)      As-Sholah
c)      As-Shoum
d)      Az-Zakah
e)      Al-Haj
Syiah                     : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a)      As-Sholah
b)      As-Shoum
c)      Az-Zakah
d)      Al-Haj
e)      Al wilayah
 
2.      Ahlussunnah         : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a)      Iman kepada Allah
b)      Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c)      Iman kepada Kitab-kitab Nya
d)      Iman kepada Rasul Nya
e)      Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f)       Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah                     : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a)      At-Tauhid
b)      An Nubuwwah
c)      Al Imamah
d)      Al Adlu
e)      Al Ma’ad

3.      Ahlussunnah         : Dua kalimat syahadat
Syiah                     : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

4.      Ahlussunnah         : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah                     :  Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.

5.      Ahlussunnah         : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a)      Abu Bakar
b)      Umar
c)      Utsman
d)      Ali Radhiallahu anhum
Syiah                     : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka). 

6.      Ahlussunnah         : Khalifah (Imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum.
Berarti mereka dapat berbuat salah/ dosa/ lupa. Karena sifat Ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi.
Syiah                     : Para imam yang jumlahnya dua belas tersebut mempunyai sifat Ma'’hum, seperti para Nabi.

7.      Ahlussunnah         : Dilarang mencaci-maki para sahabat.
Syiah                     : Mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa bahkan Syiah berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para sahabat membai'at  Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.

8.      Ahlussunnah         :  Siti Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai. Beliau adalah Ummul Mu’minin.
Syiah                     : Siti Aisyah dicaci-maki, difitnah, bahkan dikafirkan.

9.      Ahlussunnah         : Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah :
a)      Bukhari
b)      Muslim
c)      Abu Daud
d)      Turmudzi
e)      Ibnu Majah
f)       An Nasa’i
(kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).
Syiah                     : Kitab-kitab Syiah ada empat :
a)      Al Kaafi
b)      Al Istibshor
c)      Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih
d)      Att Tahdziib
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah). 

10.  Ahlussunnah         : Al-Qur'an tetap orisinil
Syiah                     : Al-Qur'an yang ada sekarang ini menurut pengakuan ulama Syiah tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).

11.  Ahlussunnah         : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Syiah                     : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.

12.  Ahlussunnah         : Aqidah Raj’Ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj’ah adalah besok diakhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Syiah                     : Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah. Dimana diceritakan : bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain.
Setelah mereka semuanya bai'at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai  ribuan kali. Sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.
Keterangan           : Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri. Berlainan dengan Imam Mahdinya Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan kedamaian.

13.  Ahlussunnah         : Mut’ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram.
Syiah                     : Mut’ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

14.  Ahlussunnah         : Khamer/ arak tidak suci.
Syiah                     : Khamer/ arak suci.

15.  Ahlussunnah         : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci.
Syiah                     : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.

16.  Ahlussunnah         :  Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah.
Syiah                     : Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat.
(jadi shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-orang Syiah dihukum tidak sah/ batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).

17.  Ahlussunnah         : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah.
Syiah                     : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/ batal shalatnya.
(Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).

18.  Ahlussunnah         : Shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i.
Syiah                     : Shalat jama’ diperbolehkan walaupun tanpa alasan apapun.

19.  Ahlussunnah         : Shalat Dhuha disunnahkan.
Syiah                     : Shalat Dhuha tidak dibenarkan.
(padahal semua Auliya’ dan salihin melakukan shalat Dhuha).
 
Demikian telah kami nukilkan perbedaan-perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).  Sengaja  kami  nukil  sedikit saja,  sebab apabila kami nukil
seluruhnya, maka akan memenuhi halaman-halaman buku ini.
Harapan kami semoga pembaca dapat memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca yang mengambil keputusan (sikap).
Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan Muslimin berbeda segalanya).
Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan diatas adalah agar masyarakat memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada antara Ahlussunnah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) itu, disamping dalam Furuu’ (cabang-cabang agama) juga dalam Ushuul (pokok/ dasar agama).
Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab mereka itu sudah memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh atau tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu).
Oleh karena itu, sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah.
Akhirnya, setelah kami menyampaikan perbedaan-perbedaan antara Ahlussunnah dengan Syiah, maka dalam kesempatan ini kami menghimbau kepada Alim Ulama serta para tokoh masyarakat, untuk selalu memberikan penerangan kepada umat Islam mengenai kesesatan ajaran Syiah. Begitu pula untuk selalu menggalang persatuan sesama Ahlussunnah dalam menghadapi rongrongan yang datangnya dari golongan Syiah. Serta lebih waspada dalam memantau gerakan Syiah didaerahnya. Sehingga bahaya yang selalu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa kita dapat teratasi.
Selanjutnya kami mengharap dari aparat pemerintahan untuk lebih peka dalam menangani masalah Syiah di Indonesia. Sebab bagaimanapun, kita tidak menghendaki apa yang sudah mereka lakukan, baik di dalam negri maupun di luar negri, terulang di negara kita.
Semoga Allah selalu melindungi kita dari penyesatan orang-orang Syiah dan aqidahnya. 

Amin

Sumber: http://www.albayyinat.net/

.: Related Blog :.