Jumat, 22 Mei 2009

Sistem Mata Uang Masyarakat Pada Zaman Kolonial

Oleh Stephen DeMeulenaere------diterjehmakan oleh Ferry Yuniver
sumber : http://www.appropriate-economics.org/

Sepanjang sejarah, masyarakat telah membuat, mengatur dan mengedarkan mata uang mereka sendiri. Disamping menjamin agar kebutuhan tiap-tiap anggota masyarakat terpenuhi, mata uang masyarakat juga melindungi masyarakat dari ketidakstabilan perekonomian diluarnya. Pada masa lalu bentuk mata uang disesuaikan dengan beberapa barang yang ada pada masa tersebut. Demikian pula pada saat ini, sistem ekonomi modern yang kita lihat saat ini merupakan modernisasi mata uang masyarakat.
Baru-baru ini beberapa usaha sedang dilakukan dalam rangka membuat kembali sistem mata uang yang berbasis masyarakat, seperti yang terjadi di Thailand , Indonesia, Meksiko, El Savador , Argentina, Chile, serta Sinegal. Oleh karena sistem tersebut merupakan sistem baru bagi sebagian besar masyarakat sehingga banyak muncul pertanyaan mengenainya. Tulisan artikel ini bertujuan untuk menyajikan informasi singkat dan ringkas tentang sistem tersebut.
Sejarah membuktikan bahwa dalam rangka mensiasati krisis ekonomi yang selalu datang, masyarakat membuat mata uang sendiri untuk wilayahnya. Sistem mata uang masyarakat yang tertua dan masih beroperasi hingga saat ini adalah sistem moneter Guernsey yang terletak diantara Gugusan Pulau Guernsey dan Jersey – Inggris (wilayah yang terkenal dengan perusahaan susu sapinya).

Mata Uang Pulau Jersey, Inggris, 1999.
Selama perang melawan Napoleon, Pemerintah Inggris pada dasarnya bangkrut , dimana 80 % dari keseluruhan penerimaan pajak digunakan untuk membayar hutang pada Bank yang telah menerbitkan mata uang. Walaupun memiliki sumber daya manusia maupun alam ataupun berbagai barang-barang kebutuhan pokok dimiliki, tapi sistem perekonomian tidak berjalan. Hal ini disebabkan tidak adanya uang yang beredar sebagai sebuah media pertukaran.
Sehingga dalam tahun 1816 mereka menerbitkan mata uangnya sendiri. Delapan belas bulan kemudian mereka membayar kembali hutang-hutang ke Bank, memperbaiki sarana dan prasarana umum, membangun gereja serta monumen-monumen. Kini terdapat $36 juta dolar mata uang masyarakat yang beredar di 60 000 orang (Richard Douthwaite, sorth circuit ).

Mata Uang Kota Bremen, Jerman, 1923
Pada akhir perang dunia pertama perekonomian Jerman hancur. Pemerintah pusat telah membuat kesalahan penting yaitu dengan mencetak berjuta-juta mata uang Marks untuk membayar negara-negara pemenang perang dunia maupun perbaikan ekonominya sendiri, hal tersebut malah menyebabkan peningkatan inflasi. Untuk itu beberapa kota di Jerman telah membuat mata uangnya sendiri.
Kemudian Amerika Serikat juga melakukan kesalahan besar yaitu dengan membuat
Stock Market yang menyebabkan kehancuran ekonomi ditahun 1929. Ratusan masyarakat Amerika dan Kanada membuat mata uangnya sendiri dalam rangka pemulihan ekonomi Negara pada umumnya serta pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Analisa atas hasil penerapan sistem mata uang lokal terhadap upaya peningkatan perekonomian setempat didukung oleh sejumlah ahli ekonomi, diantaranya Irving Fisher yang menganjurkan untuk membuat mata uang lokal secara paralel. Ide tersebut berlanjut hingga kini, yang kemudian diungkapkan lewat sebuah buku oleh seorang ahli ekonomi bernama Lewis Solomon, berjudul "Rethinking our Centralized Money System : The Case for a System of Decentralized Local Currencies" kemudian pada saat perekonomian telah pulih dan seluruh kebutuhan masyarakat telah terpenuhi kembali, sistem tersebut tidak dipergunakan kembali.

Mata Uang Propinsi Alberta, Canada, 1936. (Selama Krismon)
Ketika depresiasi mulai menyebar ke Eropa sistem mata uang masyarakat tumbuh, dimulai dari Bavaria, Austria serta negara-negara sekitarnya. Sistem tersebut memiliki keunikan terutama penggunaan "negative interest" dimana biaya sirkulasi dimasukan didalamnya untuk melindungi dari pemalsuan.

Mata Uang Desa Worgl, Jerman, 1931. (Selama Krismon)
Herr Hebecker dari Schwanekirchen , Bavaria (Jumlah penduduk 500 Orang) memiliki tambang batu bara kecil yang telah bangkrut. Dari pada membayar para pekerjanya dengan mata uang Reichsmark, Dia memutuskan untuk membayar mereka dengan batu bara. Dia membuat suatu scrip yang disebutnya Wara, dimana pada salah satu sisi dari naskah tersebut terdapat kotak kecil tempat materai dilekatkan. Naskah ini hanya berlaku dan syah jika materai --mata uang bulanan-- telah dipasang. Karena itu agar naskah tetap berharga dibutuhkannya materai yang akan membubuhi naskah tersebut sehingga dapat berlaku kembali pada setiap akhir bulan. Harga Materai dua per sen dari harga yang tertera dari pada naskah tersebut disetujui untuk digunakan selanjutnya pada setiap bulannya. Pembebanan " Negative–Interest " disetujui sebagai " Storage Cost ". Makanan dan jasa dibayar dengan mengunakan Wara . Karena mata uang ini hanya berharga bagi para pemilik pertambangan, maka para pedagang setempat tidak mempunyai pilihan selain menerimanya, yang pada akhirnya mereka meyakinkan para suppliernya untuk menerimanya pula. Hal itu menjadikannya sangat sukses dimana desa itu menjadi desa yang bebas dari hutang , dan di tahun 1931, Gerakan perekonomian bebas ini telah menyebar keseluruh negara Jerman melibatkan lebih dari 2,000 Usahawan. Antara tahun 1930 – 1931, Wara diterbitkan dimana 2,5 Juta orang telah menjalankannya.

Sistem Mata Uang Masyarakat di tahun 1980an.

Mata Uang New Hampshire, Amerika Serikat, 1999.
Pada tahun 1980-an, sistem mata uang masyarakat mulai muncul kembali. Di tahun 1981, Komputer IBM XT diluncurkan kepada masyarakat umum. Michael Linton yang bekerja pada bidang komputer, pada tahun 1970-an membuat data base akutansi di kepulauan Vancouver-Canada. Di tahun 1982 mulai dikenal sistem perdagangan antar wilayah Local Exchange Trading System (LETS), dan menjadi dasar berdirinya Sistem mata uang dengan kredit bersama (Mutual Credit Community Currency System ). Sistem mata uang lokal merupakan sebagai respon alami terhadap krisis ekonomi yang terjadi, maka dikembangkanya LETS sebagai sistem yang sengaja dibangun untuk tetap mengkritik sistem perekonomian yang berlangsung.
LETS lebih dari pada sebagai suatu sistem alternatif, Linton melihat LETS sebagai suatu sitem ekonomi yang dapat berjalan secara pararel dengan sistem yang ada, sebagai perumpamaan sistem tersebut ibarat sebuah tuas yang digunakan untuk memindahkan rel kereta api, dimana merubah arah tujuan dari perekonomian yang ada. Memahami pengertian mekanisme pasar tersebut sangat baik dan efesien, dimana hal tersebut juga memperkenalkan sistem gotong-royong di dalam suatu pasar yang merupakan salah satu aktivitas perekonomian. Diperkirakan sistem mata uang LETS telah berjumlah 1600 LETS di dunia, ada lebih dari 1500 sistem mata uang lokal yang berorientasi pada sistem LETS, jika pun tidak menerapkan dengan sistem tersebut paling tidak prinsip-prinsip yang digunakan mengacu padanya.
Dalam rancangan LETS , Linton memisahkan aturan yang berbeda antara uang (sebagaimana yang kita kenal) sebagai suatu nilai yang tersimpan dan uang sebagai sebuah media pertukaran. Dia melihat uang sebagai sebuah sistem informasi untung pencatatan usaha manusia dan Dia pun tidak melihat perbedaan antara uang sebagai sarana pertukaran dengan uang sebagai media perhitungan (seperti inci dalam perhitungan panjang sepotong kayu). Sebagai sebuah perumpamaan yaitu pada seseorang yang sedang membangun sebuah rumah, dimana pada saat itu ia tidak dapat memperoleh kayu untuk membangun rumahnya karena tidak ada inchi (satuan ukuran panjang), walupun sumber daya manusia dan bahan-bahan pendukung membuat rumah sudah tersedia. Demikian pula dengan uang, mengapa kita tidak dapat berbuat sesuatu karena uang tidak cukup, walaupun sumber daya alam dan manusia tersedia. Uang, kemudian menjadi suatu informasi yang sederhana dan uang dibutuhkan tidak hanya mewakili suatu nilai .
Jika uang merupakan suatu informasi sederhana, maka kebutuhanya tidak akan pernah menjadi kurang. Itu bukan berarti bahwa persediaannya tidak terbatas , tentunya dibatasi oleh berbagai hal yang ada. Namun pun demikian, uang selalu ada jika dibutuhkan. Mengenai pertanggung jawaban dalam mempertahankan nilai uang diberikan kepada seseorang yang menerbitkannya. Jadi, mata uang LETS adalah sebagai "uang pribadi" .
Agar persediaan uang dan perekonomian tetap stabil, maka uang harus berada dalam lingkungan setempat. Karena mata uang dicetak dengan menggunakan nama samaran dengan demikian dapat beredar dimanapun. Linton merasa pendekatan yang lebih baik jika melindungi uang di masyarakat melalui suatu sistem keuangan dan mata uang melalui proses komputer. LETS sebagai sistem pencatatan transaksi dan penyimpanan data keuangan sangat sederhana, dimana LETS tidak mengeluarkan mata uang atau mengawasi peredarannya. Linton merancang sistem tersebut dengan bebas bunga. Dengan demikian seluruh anggata memiliki tanggung jawab terhadap sistem yang digunakannya.

Mata Uang Kota Toronto, Canada, 1999.
Realitas dilapangan mata uang LETS selalu memiliki persedian uang yang cukup bagi masyarakat anggotanya, dimana uang dicetak dan didistribusikan pada suatu wilayah oleh anggotanya dengan tidak menerapkan sistem bunga . Suatu kesempurnan dimana lazimnya uang di masyarakat selalu mengalami kekurangan .

Sistem Mata Uang Masyarakat di Sebagian Dunia Ketiga

Mata Uang Alternatif di Argentina, 2000.
Beberapa proyek mata uang masyarakat hingga kini sedang berlangsung di negara-negara seperti Meksiko, El Savador , Peru , Chile, Argentina, Brazil, Senegal , Thailand, Indonesia dan di beberapa negara lain di belahan dunia (negara-negara ketiga) . Banyak masyarakat menghidupkan kembali sistem perekonomian tradisionalnya , sistem yang memelihara gotong royong dan kekeluargaan didalam lingkungannya.
Secara umum kita dapat mengatakan tentang Sistem Mata uang masyarakat sebagai berikut :
1. Mata uang diterbitkan dengan aman dan cepat. Untuk sebagian besar sistem mata uang masyarakat, mata uang disebarkan kepada seluruh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pada bank–bank maupun koperasi kredit. Dimana penarikan uang dicatat pada lembaran buku besar. Karena jumlah keseluruhan pada perhitungan neraca selalu sama ( Kredit – Debet = 0 ) atau ( Kredit + Uang tunai – debet = 0 ) perhitungannya sangat sederhana dan cepat . Pemerintah tidak menerbitkan mata uang , lebih baik jika para anggota masyakat yang menerbitkan mata uang mereka sendiri, sehingga sistem hanya mencatat kegiatannya. Di beberapa sistem, mata uang hanya diterbitkan sebelum ( in case of printed currency systems ) atau pada saat dibuat.( in case of ledger – based system with invisible currency ). Hanya sedikit sistem yang menengahkan istilah Sistem "local Currency", Penyebaran issu hanya terbatas pada kalangan anggota yang menerapkannya saja. Sistem tersebut khususnya hampir terbatas untuk negara Amerika Utara.

Mata Uang Kota Meksiko, 1999.
1. Mata uang beredar terbatas hanya didalam suatu wilayah tertentu. Begitu juga untuk melayani masyarakat , peredaran mata uang hanya didalam suatu wilayah geographi yang ditentukan oleh para anggota pemegang saham. Hal yang kurang disukai dari sistem ini adalah karena mata uang tidak dapat diterima diluar wilayah dimana sistem itu diterapkan, hal ini mengingat mata uang hanya dapat dibelanjakan didalam wilayah dimana uang tersebut diterima. Tidak seperti hal-nya mata uang nasional yang dapat beredar keluar wilayah, mata uang masyarakat hanya beredar didalam wilayahnya, yang juga berkonsekuensi terhadap peningkatan nilai uang nasional didalam masyarakat.

Mata Uang Kota Dakar, Senegal, Afrika, 1998.
1. Mata uang masyarakat bukan bertujuan untuk menegasikan mata uang nasional. Mata uang masyarakat memiliki nilai yang sama dengan mata uang nasional di suatu lokasi. Dimana pada saat implementasi penggunaannya mata uang masyarakat di jalankan bersamaan dengan mata uang nasional, atau disebut juga mata uang paralel. Kehadiran mata uang nasional bertujuan juga untuk mempertahankan stabilitas nilai barang, dimana nilai barang akan akan tetap dengan kehadiran mata uang masyarakat, selain itu juga diharapkan mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi, karena tidak memiliki permasalahan atas kekurangan jumlah atal tukar. Penggunaan mata uang masyarakat hanya dikhususkan untuk berlaku di wilayah dimana mata uang tersebut beredar, sedangkan bedanya dengan mata uang nasional, penggunananya dapt dipakai dimanapun kita berada sesuai dengan kebutuhan yang ingin kita miliki (beli). Penerapan paralel dari mata uang nasional dan mata uang nasionala ditujukan pada produk-produk yang dihasilkan di wilayah setempat. Sedangkan pemutusan nilai dari mata uang masyarakat itu sendiri diserahkan kepada kesepakatan bersama masyarakat yaitu antara konsumen dan produsen. Untuk mata uang nasional, dapat digunakan untuk pembelian barang-barang yang diproduksi dari luar, sehingga untuk barang-barang produksi luar dengan penggunaan mata uang nasional akan lebih mudah terjangkau, dilain sisi juga masyarakat dapat menggunakan saving mata uang nasional untuk keperluan lainnya seperti membayar hutang.

Mata Uang Desa Kud Chum, Yasothon, Thailand, 2000.
2. Sistem mata uang masyarakat scara resmi telah beredar di lebih dari 35 negara-negara di dunia. Beberapa Sistem mata uang yang sedang beroperasi di negara-negara yang tergabung dalam NAFTA, G7, maupun EEC, sebaik penerapan yang dilakukan di negara-negara seperti Jepang, Australia, New Zealand, Senegal, Thailand, Peru , Equador, Colombia, Uruguay, Chile, Argentina dan Brazil. Di bebarapa tempat penerapan sistem mata uang masyarakat tersebut diatas juga didukung oleh pemerintah setempat.

Mata Uang Alternatif Jepang, 1998 (Selama Krismon).
Sebagai contoh , di tahun 1998, Pemerintah negara Jepang menerbitkan 750,000,000 US Dollars untuk menanggulangi defisit sementara mata uang-nya, terkait dengan upaya pemulihan ekonominya pemerintah menganjurkan untuk tetap melakukan aktivitas transaksi. Pemerintah daerah didorong untuk mendisain maupun memproduksi diwilayah masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya diwilayahnya. Meskipun rancangan dari sistem ini berbeda dari type sistem mata uang masyarakat yang telah kita bicarakan sebelumnya . Hal itu juga menunjukan bahkan negara terkaya di duniapun sekalipun suatu saat membutuhkan tumpuan mata uang pararel.
Contoh lain, di negara Australia para penerima bantuan sosial diijinkan untuk menambah penghasikan dalam mata uang masyarakat dengan tidak mengurangi keuntungan yang mereka peroleh, mendorong masyarakat berupa bantuan sosial dalam rangka peningkatan kapasitas kerja mereka. Pemerintah Tlaxcala di Meksiko secara aktif mepromosikan Sistem mata uang masyarakat di negaranya. Pemerintah kota Curitiba-Brazil dan Buenos Aires- Argentina juga mendukung penggunaan mata uang masyarakat untuk menghadapi masalah kejahatan, masalah penganguran, masalah perbaikan lingkungan dan daur ulang . Tidak satupun dari sistem ini dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas keuangan nasional.
Pada kenyataanya , Banyaknya politikus menyetujui banyaknya keuntungan dari sistem mata uang masyarakat yang ditawarkan untuk masyarakat dan perekonomian nasional. Ahli ekonomi dari Amerika bernama Lewis solomon dalam bukunya berjudul " Rethinking Our Centralized Money Sistem " menganjurkan agar jaringan sistem mata uang masyarakat didirikan diseluruh negara bagian Amerika Serikat. Dengan jelas, jika negara – negara kaya di dunia menyetujui untuk mendirikan sistem tersebut tentunya diikuti pula dengan pemerintah negara disekitarnya .
3. Sistem mata uang masyarakat melindungi perekonomian nasional dari penerapan sistem pasar bebas. Beberapa proteksi yang dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia telah tidak ada. Sedikitnya, mungkin hanya negara Jepang yang masih mampu mempertahankan proteksi perdagangan bagi rakyatnya, dengan cara melindungi pasar mereka dari perusakan dan eksploitasi ekonomi dari luar. Namun apakah ada pertentangan atas keuntungan yang terjadi dari jaringan perdagangan berbasis masyarakat. Sistem ini tidak memiliki perbedaan dengan Sistem tanpa bunga dari per-Bank-an Islam, atau Program pinjaman kecil masyarakat, karena sistem tersebut tidak melarang pertukaran dengan para pedagang asing. Sama halnya dengan mata uang masyarakat. Namun pengunaan dari mata uang masyarakat , memberikan keuntungan yaitu sebagai pelapis yang melindungi dari badai krisis ekonomi yang menembus seluruh negara. Dengan sistem mata uang masyarakat, akan mendorong masyarakat untuk tetap bertahan dalam krisis maupun ketidakstabilan perekonomian nasional seperti yang dialami negara-negara seperti Meksiko (1995), Asia (1997) , Brazil (1998) dan seterusnya.

Selasa, 19 Mei 2009

Indonesia diJajah 3,5 abad, Mitos??

by: yan's

Prof. Taufik Abdullah dalam pidato penganugrahan kepada Prof. Mr. G.J. Resink sebagai anggota kehormatan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) tanggal 10 November 1996 mengatakan bahwa “… jasa Prof. Resink yang terpenting adalah dalam lapangan metodologi sejarah. Ia memperkenalkan pendekatan hukum Internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme….. Dari penelitiannya ia sampai kepada kesimpulan bahwa kekuasaan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun di Kepulauan Indonesia sebenarnya tidak lebih dari mitos politik belaka yang tidak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah”.

Indonesia dijajah selama 350 tahun. Itulah satu dari sedikit warisan pemikiran pra-Orba yang masih bertahan sampai sekarang. Dalam upacara-upacara resmi, para pejabat yang merasa perlu memobilisasi semangat orang, selalu mengucapkannya. Sejak 1930-an, gerakan nasionalis menjadikan pernyataan ini sebagai bahan agitasi dan propagandanya. Menariknya, pada saat bersamaan di kalangan penguasa kolonial pun ada perdebatan serupa. Para pemilik perkebunan, birokrat kolonial dengan dukungan kalangan konservatif di Belanda bergabung dalam Vaderlandsche Club, yang ingin melanggengkan kolonialisme setidaknya untuk 350 tahun lagi, dan tidak melihat perlunya “berbaik hati” pada orang bumiputra melalui Politik Etis, karena ternyata hanya melahirkan pemberontakan. Pada 1926-27 terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan serikat-serikat rakyat di Jawa dan Sumatera Barat. Kalangan konservatif mendapat angin untuk menindas gerakan nasionalis dan sekaligus menyingkirkan pendukung Politik Etis dari birokrasi kolonial.
Posisi mereka ditentang oleh kelompok Stuw yang berbasis di Leiden, dengan anggota-anggota seperti J.H.A. Logeman dan H.J. van Mook. Mereka didukung oleh sarjana-sarjana kolonial yang berpendapat bahwa Belanda tidak pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun, dan karena itu tuntutan “melanjutkan penjajahan” untuk kurun waktu yang sama, menjadi tidak masuk akal. Mereka berpendapat sebaiknya negeri induk memberi kemerdekaan secara bertahap, dan mengelola sumber daya alam serta kegiatan ekonomi bersama-sama, seperti layaknya negara persemakmuran di bawah Inggris. Menindas gerakan nasionalis adalah pemborosan di samping bertentangan dengan prinsip-prinsip Etis yang dikembangkan sebelumnya.
Perdebatan itu tertunda ketika kekuasaan kolonial dipenggal oleh serbuan Jepang pada 1942. Gerakan nasionalis menjadikan arogansi Vaderlandsche Club sebagai bahan propaganda dan menulis kembali sejarah dengan membalik seluruh argumentasi yang terkandung di dalamnya. Apa yang oleh Vaderlandsche Club disebut sebagai kejayaan menjadi penindasan, pahlawan menjadi penjahat dan sebaliknya. Tapi keduanya sepakat bahwa Indonesia memang dijajah Belanda selama 350 tahun. Di tengah pergulatan ini muncul Gertrudes Johan Resink, mahasiswa sekolah hukum di Batavia, keturunan Indo-Belanda yang lahir di Yogyakarta pada 1911. Ia mendalami sistem hukum Indonesia, terutama hukum antar bangsa di bawah asuhan J.H.A. Logeman, tokoh kelompok Stuw.
Setelah menyelesaikan karya pertamanya mengenai sejarah hukum Madura, Resink bekerja sebagai pegawai negeri di sekretariat Gubenur Jenderal Buitenzorg (Bogor) hingga kedatangan balatentara Jepang. Pada 1947 ia menjadi satu dari sedikit ahli hukum yang tetap bertahan di Indonesia. Ia menggantikan Logeman mengajar di almamaternya, yang telah diubah menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia. Selama sepuluh tahun ia meneliti kembali hubungan Indonesia-Belanda dari perspektif hukum, untuk membongkar apa yang menurutnya adalah mitos-mitos, termasuk klaim bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun.
Ia adalah orang pertama yang secara kritis mengkaji kembali kebijakan pemerintah kolonial sejak abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Hasilnya adalah rangkaian esei yang kemudian dibukukan dan diterjemahkan dengan baik dalam bahasa Indonesia, dengan judul Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910.
Dengan perhatian utama pada keputusan pemerintah kolonial “yang dilupakan” baik oleh sejarawan Belanda, tokoh Vaderlandsche Club maupun gerakan nasionalis Indonesia, ia ingin membuktikan bahwa klaim penjajahan selama 350 tahun adalah mitos belaka. Menurutnya, pada dekade pertama abad ke-20 di kepulauan Indonesia masih tersebar daerah-daerah swapraja dan kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka. Ia menunjuk Regeeringreglement (peraturan pemerintah) 1854, yang menyatakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki wewenang untuk mengumumkan perang dan mengadakan perdamaian, serta membuat perjanjian raja-raja di seluruh Nusantara. Sampai abad ke-19 bahkan ada kerajaan-kerajaan yang cukup kuat dan “berada dalam hubungan setara” dengan penguasa kolonial, seperti Ternate dan Tidore.
Hubungan antara pemerintah kolonial dan kerajaan-kerajaan yang merdeka diatur dalam kontrak atau perjanjian. Artinya ada kerjasama antara penguasa kolonial dan kerajaan-kerajaan tersebut untuk mengelola sumber daya ekonomi sambil mempertahankan kedaulatan masing-masing. Tidak ada serangan bersenjata, pengiriman pasukan atau penaklukan seperti yang terjadi di wilayah-wilayah lain. Di Surakarta dan Yogyakarta yang masih merupakan daerah swapraja misalnya sewa tanah berjalan tanpa hambatan dan tidak ada keributan seperti halnya di tempat-tempat lain. Para penguasa kraton dan Gubernur Jenderal berhubungan baik. Melihat semua ini Resink kemudian menganggap kerajaan-kerajaan yang merdeka ini mirip dengan protekorat atau daerah di bawah perlindungan negara Hindia Belanda.
Dalam esei “Dari Debu Sebuah Taufan Penghancuran Patung-Patung” yang terbit 1956, Resink membandingkan kekuasaan Majapahit, VOC dan Hindia Belanda. Seperti C.C. Berg seorang sarjana kolonial terkemuka, ia mengatakan kekuasaan Majapahit harus dilihat dari segi lalu lintas perdagangan rempah-rempah yang tidak hanya menghubungkan pulau-pulau di Nusantara, tapi juga mengaitkannya dengan pelabuhan India serta daerah pantai di Laut Tengah. Kekuasaan Hindia Belanda tidak pernah sampai sejauh itu. Artinya klaim bahwa Belanda menguasai Nusantara seperti halnya Majapahit menguasai wilayah itu pun gugur. Apalagi jika dibandingkan VOC (cikal-bakal negara Hindia Belanda) yang hanya berkuasa di sebagian kecil wilayah dan sangat terbatas pula. Klaim penjajahan selama 350 tahun pun semakin terlihat rapuh ketika dihadapkan pada fakta-fakta dasar seperti ini. Ia mengakui bahwa orang Belanda memang tinggal dan bekerjasama dengan orang bumiputra selama ratusan tahun, mungkin juga melakukan kejahatan di sana-sini, tapi jelas tidak menguasai keseluruhan wilayahnya.
Perhatian lainnya adalah daerah-daerah di luar Jawa yang sangat sedikit disinggung dalam penulisan sejarah nasional. Kaum nasionalis biasanya menggunakan contoh perkebunan di Sumatera dan Jawa untuk menunjukkan penindasan yang hebat. Tidak ada yang bisa menyangkal itu, tapi Resink ingin membuktikan bahwa di samping itu masih ada wilayah-wilayah yang berdiri sendiri dan merdeka. Ia menggunakan nota H. Colijn yang menguraikan kebijakan pemerintah Hindia Belanda di daerah-daerah luar Jawa. Dari nota ini ia mendapat gambaran tentang situasi politik di berbagai daerah menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Hasil pengamatannya kemudian disusun menjadi esei “Negara-Negara Pribumi di Nusantara Timur”, untuk menunjukkan bahwa sampai kurun itu sebenarnya ada negara yang merdeka dan berdaulat atas wilayahnya. Ia melihat bahwa di mata pemerintah kolonial sendiri, semua wilayah itu dianggap otonom dan sejajar. Perlakuan itu bukan hanya bagi negeri-negeri yang memang masih merdeka seperti Kalimantan Selatan dan Lombok, tapi juga bagi wilayah yang mengadakan perjanjian dengan Belanda dan mengakuinya sebagai kekuasaan tertinggi, seperti Aceh, daerah bawah di Jambi dan Riau.
Dalam karangan terakhir di kumpulan itu, Resink menegaskan kembali masalah kedaulatan ini. Sekalipun raja-raja bumiputra mengakui penguasa kolonial sebagai kekuasaan tertinggi dan menyapa gubernur jenderal dengan sebutan “yang dipertuan besar” dalam perjanjian-perjanjiannya, status mereka sesungguhnya setara. Negeri seperti Aceh dan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan sekalipun berhubungan dengan Belanda, harus diperlakukan seperti Montenegro atau Monaco dalam hukum internasional.
Resink adalah pendukung kemerdekaan Indonesia. Ia sama sekali tidak menyangkal hak rakyat untuk merdeka, dan sangat kritis terhadap kekuasaan kolonial. Namun simpati atau keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan menurutnya tidak bisa tenggelam dalam kesalahan melihat fakta-fakta, apalagi mengembangkan mitos-mitos yang tidak berdasar. Karena itulah ia bersikeras membuktikan bahwa penjajahan selama 350 tahun adalah mitos belaka.
Memang dari sudut hukum, bukti-bukti yang diajukannya mendukung argumentasi itu. Tapi persoalannya kemudian bagaimana cara kita memahami bukti-bukti yang ada. Cukup jelas bahwa Resink berpegangan pada paham legalistik, yang berkutat pada rumusan hukum dan segala konsekuensi logisnya. Akibatnya ia seringkali tidak melihat struktur yang melandasi produk hukum itu. Singkatnya, memisahkan antara eksploitasi kolonial dengan produk hukum yang dibuatnya. Hukum baginya adalah sesuatu yang netral dan harus dibaca “seperti adanya”.
Karena itulah kerajaan-kerajan merdeka dianggapnya berada dalam hubungan setara dengan pemerintah kolonial. Mereka membentuk partnership dan bukan hubungan penguasa dan yang dikuasai. Pemerintah kolonial, seperti dijabarkan dalam perjanjian-perjanjiannya, bertindak sebagai pelindung kerajaan sambil tetap menghargai kedaulatan masing-masing. Tapi sebaliknya Resink tidak melihat hubungan sesungguhnya antara wilayah tersebut dengan penguasa kolonial, di luar jalur hukum. Eksploitasi ekonomi, ekspansi kekuasaan kolonial terus berlangsung, terlepas ada tidaknya perjanjian tersebut.

Misalnya perjanjian dengan Sultan Siak pada 1889 yang menjadi syarat bagi penguasa kolonial untuk menguasai tambang timah. Begitu pula perjanjian dengan Sumatera Timur pada 1909 yang mengakui kebesaran raja setempat tapi di sisi lain mengubah daerah kekuasaannya menjadi sebuah cultuurgebied (daerah perkebunan) yang menghasilkan jutaan gulden setiap tahunnya untuk para pemilik perkebunan. Dalam perjanjian itu disebutkan adanya platselijke raad atau semacam dewan pemerintahan, tapi kekuasaannya hanya sebatas “kedaulatan politik”, sementara urusan ekonomi dan eksploitasi, termasuk pengerahan tenaga kerja yang terkenal kejam, diserahkan sepenuhnya kepada pemilik perkebunan. Begitu pula dengan Nota Colijn yang menjadi rujukannya untuk memahami “kedaulatan” wilayah-wilayah merdeka di bagian timur Nusantara. Dalam nota itu berulangkali ditekankan bahwa negeri-negeri yang “merdeka” berada di bawah kekuasaan kolonial.
Persoalan lain, Resink juga nampaknya mengabaikan gerakan protes dan perlawanan rakyat yang me luas sejak abad ke-19, sementara para penguasa feodal di masing-masing wilayah menikmati “kesetaraan” dengan penguasa kolonial. Justru penaklukan kalangan elit dan perlawanan rakyat adalah ciri tanah jajahan di mana pun. Artinya, kemerdekaan tidak dapat diukur hanya dari sisi hukum, tapi harus melihat keseluruhan cara hidup masyarakat yang bersangkutan.
Studi Resink dan cara berpikirnya sangat dipengaruhi oleh keinginan “meluruskan sejarah” dari salah paham, baik di kalangan sarjana kolonial konservatif maupun gerakan nasionalis. Ia masuk dalam sebuah perdebatan panjang yang menariknya sampai pada kesimpulan sama dengan kepentingan yang bertolak belakang. Sementara kaum konservatif mengklaim penjajahan selama 350 tahun sebagai pembenaran untuk melanjutkan kolonialisme, gerakan nasionalis mengklaim kurun yang sama sebagai dasar untuk membebaskan diri.
Di tahun 1950-an, saat Resink menulis esei-eseinya yang mahsyur itu, gerakan nasionalis sedang naik pasang. Komentarnya memang menimbulkan perdebatan kembali di kalangan nasionalis dan intelektual sezaman. Komentar dan kritiknya yang tajam terhadap salah paham kaum nasionalis atas sejarahnya sendiri menjadi catatan penting bahwa propaganda tidak bisa bertahan atas dasar-dasar yang rentan dan salah. Sebaliknya perlu kita ingat bahwa Resink juga mengabaikan berbagai hal, termasuk hal-hal terpenting mengenai hubungan eksploitatif antara penguasa kolonial dan rakyat tanah jajahan. Kesepakatan dan perjanjian dalam bahasa yang santun tidak dengan sendirinya mencerminkan “kesetaraan”. Sumatera Timur mungkin menjadi contoh yang menonjol, sementara berdaulat di bidang politik, eksploitasi menyebabkan ratusan ribu orang menderita sebagai kuli kontrak yang nyaris seperti budak.
Bagaimanapun, karya Resink memberi sumbangan berharga untuk menyadari bahwa kemerdekaan secara legal-formal dan kedaulatan hukum, tidak dengan sendirinya berarti pembebasan menyeluruh dari hubungan-hubungan yang menindas.

(Razif, pekerja pada Jaringan Kerja Budaya)
http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-07200…sik-072001.htm

Senin, 18 Mei 2009

Liberalisme, Faham yagng menyesatkan

by: yan's

Waspada fahaman Islam liberal
KALANGAN Muslim yang prihatin begitu bimbang dengan ajaran sesat dan pertelagahan sesama sendiri soal furuk (cabang) dalam agama terutama pada perkara-perkara bidaah yang timbul selepas kewafatan Rasulullah s.a.w. Bagaimanapun, jarang yang sedar dan prihatin akan ancaman yang jauh lebih bahaya dalam memesongkan akidah serta tauhid Islami serta fitrah kemanusiaan itu sendiri dalam Islam liberal.
Sebabnya, ancaman ideologi yang jelas bercanggah dengan al-sunnah dan al-Quran melalui aliran pemikiran moden yang mengsinonimkan falsafah Islam berpaksikan akal dengan pemikiran barat yang memesongkan akidah itu sudah menjadi 'pakaian' dan 'sajian' harian hidup ummah kini.
Mengguna label Islam liberal dengan memperjuangkan hak kebebasan dan hak asasi manusia, umat Muslim sebenarnya sudah diresapi dengan 'akidah' liberalisme dan pluralisme yang menjadi agenda dalam doktrin Yahudi-Kristian dalam menghancurkan Islam melalui pemesongan akidah Muslim
Akidah menurut Profesor Dr. Hamka, terhimpun kepada tiga iaitu tauhid yang menjadi pokok kepercayaan tentang Keesaan Allah SWT, Al-Risalah iaitu manusia pilihan Allah yang di utus menyampaikan wahyu-Nya bagi membimbing manusia dalam kehidupan dan Al-Baats iaitu kepercayaan kepada hari berbangkit untuk kehidupan kedua yang berkekalan. (Tafsir Al-Azhar: mukadimah juzuk 17).
Ini dijelaskan menerusi firman Allah yang bermaksud: "Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah (agama) Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Fitrah Allah ialah ciptaan Allah iaitu manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama iaitu agama Tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama Tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama Tauhid adalah kerana pengaruh lingkungan kehidupan)." (ar-Ruum: 30).
Namun, manusiawi dan sikap kebendaan sudah mengambil alih peranan dalam kebanyakan amalan dan budaya hidup ummah era kini berbanding al-Quran dan al-sunnah sebagai pegangan untuk kekal meng-Esakan Allah SWT. Fahaman sesat ada pada setiap zaman tetapi ancaman pemikiran moden mengsinonimkan Islam dengan falsafah pemikiran barat melalui liberalisme dan pluralisme adalah ancaman dan fitnah zaman ini yang jauh lebih bahaya.Ini telah ditegaskan Allah SWT dalam al-Quran yang mafhum-Nya: "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (ali-'Imran: 85).
Islam adalah agama yang paling cantik, komprehensif, natural, rasional dan mengikut fitrah makhluk lagi eksklusif yang tidak berubah sejak dulu, kini dan selamanya. Kerana kecantikan dan kesempurnaan Islamlah menyebabkan ia dicemburui oleh 'pereka' kepada pelbagai kepercayaan lain. Islam berasaskan al-Quran dan al-sunnah untuk menegakkan akhlak berbeza dengan langkah menjaga moral yang dilaungkan Islam liberal.
Melalui liberalisasi agama pula akan mewujudkan sekularisme yang menyaksikan semua perkara berkaitan urusan dunia dipisahkan daripada syariat agama. Usaha pembaratan ini sudah bermula sejak Perang Salib lagi kerana musuh Islam sedar Muslim tidak dapat dikalahkan selagi kita berpegang teguh akidah al-Quran dan al-sunnah.Maka kewujudan nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, hak asasi manusia, feminisme, kebebasan, globalisasi dan Islam liberal memesongkan soal aqidah Muslim.
(source: http://muslimdaily.net)

Sejarah Yakuja

From: htp://muslimdaily.net

Sejarah panjang Yakuza dimulai kira-kira pada tahun 1612, saat Shogun Tokugawa berkuasa dan menyingkirkan shogun sebelumnya.Pergantian ini mengakibatkan kira-kira 500.000 orang samurai yang sebelumnya disebut hatomo-yakko (pelayan shogun) menjadi kehilangan tuan, atau disebut sebagai kaum ronin.

Seperti kata pepatah: “orang yang hanya punya martil cenderung melihat segala sesuatu bisa beres dengan dimartil..”, demikian juga dengan kaum ronin ini. Banyak dari mereka menjadi penjahat dan centeng. Mereka disebut sebagai kabuki-mono atau samurai nyentrik urakan yang ke mana-mana membawa pedang. Mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa slang dan kode rahasia. Terdapat kesetiaan tinggi di antara sesama ronin sehingga kelompok ini sulit dibasmi. Apakah kaum ronin ini yang menjadi biang Yakuza…? Bukan.

Untuk melindungi kota dari para kabuki-mono, banyak kota-kota kecil di Jepang membentuk machi-yokko (satgas kampung). Satgas ini terdiri dari para pedagang, pegawai, dan orang biasa yang mau menyumbangkan tenaganya untuk menghadapi kaum kabuki-mono. Walaupun mereka kurang terlatih dan jumlahnya sedikit, tetapi ternyata para anggota machi-yokko ini sanggup menjaga daerah mereka dari serangan para kabuki mono. Di kalangan rakyat Jepang abad ke 17 – kaum machi-yokko ini dianggap seperti pahlawan.

Masalah jadi rumit, karena setelah berhasil menggulung para ronin, para anggota machi-yokko ini malah meninggalkan profesi awal mereka – dan memilih jadi preman. Hal ini diperparah lagi dengan turut campurnya Shogun dalam memelihara para machi-yokko ini. Ada dua kelas profesi para machi-yokko, yaitu kaum Bakuto (penjudi) dan Tekiya (pedagang). Namanya saja kaum pedagang – tetapi pada kenyataannya, kaum Tekiya ini suka menipu dan memeras sesama pedagang. Walau begitu, kaum ini punya sistem kekerabatan yang kuat. Ada hubungan kuat antara Oyabun (Boss-bapak) dan Kobun (bawahan-anak), serta Senpai-Kohai (Senior-Junior) yang kemudian menjadi kental di organisasi Yakuza.

Penjudi Sewaan

Kaum Bakuto (penjudi), punya sejarah yang unik. Awalnya mereka disewa oleh Shogun untuk berjudi melawan para pegawai konstruksi dan irigasi. Untuk apa…? Agar gaji para pegawai konstruksi dan irigasi habis di meja judi – dan tenaga mereka bisa disewa dengan harga murah!

Jenis judi yang biasa dilakukan adalah menggunakan kartu Hanafuda dengan sistem permainan mirip Black Jack. Tiga kartu dibagikan dan bila angka kartu dijumlahkan – maka angka terakhir menunjukkan siapa pemenang. Nah diantara sekian banyak “kartu sial”, kartu berjumlah 20 adalah yang paling sering disumpahi orang, karena berakhiran nol. Salah satu konfigurasi kartu ini adalah kartu dengan nilai 8-9-3 – yang dalam bahasa Jepang menjadi Ya-Ku-Za – yang kemudian menjadi nama asal Yakuza.

Dari kaum Bakuto ini juga muncul tradisi menandai diri dengan tattoo sekujur badan (disebut irezumi) dan yubitsume (potong jari) sebagai bentuk penyesalan ataupun sebagai hukuman. Awalnya hukuman ini bersifat simbolik – karena ruas atas jari kelingking yang dipotong membuat si empunya tangan menjadi lebih sulit memegang pedang dengan mantap. Hal ini menjadi simbol ketaatan terhadap pimpinan.

Yakuza Modern

Waktu pun berlalu, kaum Bakuto dan Tekiya menjadi satu identitas sebagai Yakuza. Kaum yang asalnya bertugas melindungi masyarakat – menjadi ditakuti masyarakat. Para pimpinan Jepang memanfaatkan hal ini untuk mengendalikan masyarakat dan menggerakkan nasionalisme. Yakuza ikut direkrut oleh pemerintah Jepang dalam aksi pendudukan di Manchuria dan China oleh Jepang tahun 1930-an. Para Yakuza dikirim ke daerah tersebut untuk merebut tanah, dan memperoleh hak monopoli sebagai imbalan.

Keruntungan kaum Yakuza berubah setelah Jepang menyerang Pearl Harbor. Militer mengambil alih kendali dari tangan Yakuza. Para anggota Yakuza akhirnya harus memilih apakah bergabung dalam birokrasi pemerintah, jadi tentara atau masuk penjara. Boleh dikata pamor Yakuza tenggelam.

Setelah Jepang menyerah, para anggota Yakuza kembali ke masyarakat. Muncul satu orang yang berhasil mempersatukan seluruh organisasi Yakuza. Orang itu adalah Yoshio Kodame, seorang ex-militer dengan pangkat terakhir Admiral Muda (yang dicapainya di usia 34 tahun). Yoshio Kodame berhasil mempersatukan dua fraksi besar Yakuza, yaitu Yamaguchi-gumi yang dipimpin Kazuo Taoka, dan Tosei-kai yang dipimpin Hisayuki Machii. Yakuza pun bertambah besar keanggotaannya terutama di periode 1958-1963 – saat organisasi Yakuza diperkirakan memiliki anggota 184.000 orang – atau lebih banyak daripada anggota tentara angkatan darat Jepang saat itu. Yoshio Kodame dinobatkan sebagai godfather-nya Yakuza.

Ectasy, Pachinko, dan Peluncur Roket

Di masa kini, keanggotaan Yakuza diperkirakan telah menurun tajam – tetapi bukan berarti tidak berbahaya. Tulang punggung bisnis illegal mereka adalah pachinko, perdagangan ampethamine (termasuk ice dan ecstasy), prostitusi, pornografi, pemerasan, hingga penyelundupan senjata.

Di era 1980-an, Yakuza mengembangkan sayap mereka hingga ke Amerika, dan ikut masuk dalam bisnis legal untuk mencuci uang mereka. Dalam operasinya, Yakuza membeli asset di Amerika – dan salah satu yang pernah mencuat ke permukaan adalah keterlibatan Prescott Bush Jr., saudara dari presiden George Bush dan paman dari Presiden George W. Bush Jr., dalam transaksi penjualan perusahaan Asset Management International Financing & Settlements di awal 1990-an.

Berdasarkan perkiraan kasar dari sumber majalah Far Eastern Economic Review edisi 17 Januari 2002 – Yakuza diperkirakan telah menanamkan uang hingga USD 50 Milyar dalam investasi saham dan perusahaan di Amerika. Bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia yang USD 36 Milyar.

Di dalam negeri, Yakuza juga ditengarai turut berperan dalam anjloknya ekonomi Jepang selama 10 tahun terakhir. Sebagai akibat amblasnya bisnis properti dan macetnya kredit bank di Jepang pasca 1990 – banyak debitor yang menyewa anggota Yakuza agar agunan mereka tidak disita oleh bank. Selain itu, banyak perusahaan yang memperoleh pinjaman bank – pada dasarnya adalah sebuah kigyo shatei atau perusahaan boneka miliki Yakuza. Perusahaan milik Yakuza ini diperkirakan memperoleh kredit antara USD 300-400 Milyar, dan sebagian dari jumlah itu dialirkan ke induk organisasi Yakuza. Menghadapi hal seperti ini - bank Jepang jelas tidak bisa berkutik.

Di sisi lain, anggota Yakuza juga kerap membeli asset properti dengan harga miring dari perusahaan yang butuh cash – untuk dijual kembali dengan harga tinggi – apapun itu mulai dari apartemen, perkantoran hingga rumah sakit. Bila sebuah bangunan telah dibeli oleh Yakuza – siapa sih yang berani jadi tetangga mereka? Alhasil harga properti langsung amblas, dan segera naik segera setelah Yakuza menjualnya.

Selain beroperasi secara di level bawah, Yakuza juga menggurita di kalangan politisi Jepang. Beberapa praktek suap telah terbongkar termasuk dalam program tender proyek umum senilai trilyunan yen. Program rekapitalisasi perbankan Jepang yang berlarut-larut tidak kunjung selesai – diperparah oleh keterlibatan Yakuza yang sangat berkepentingan dalam bisnis properti dan kredit perbankan. Saat ini perbankan Jepang masih menanggung beban kredit macet sebesar kira-kira USD 1,2 Trilyun – dan membuat ekonomi tidak bertumbuh selama 10 tahun terakhir. (far/ks)

.: Related Blog :.