Senin, 21 Juni 2010

Seputar Bulan Sya'ban

Seputar Bulan Syaban


Syaban adalah nama bulan. Dinamakan Syaban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasyaabun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian juga karena mereka tasyaub (berpisah-pisah/terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Syaban juga karena bulan tersebut syaaba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan. Jamaknya adalah Syaabanaat dan Syaaabiin.


Shaum di bulan Syaban


Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata: Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Syaban. (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956). Dan dalam riwayat Muslim No.1957 : Adalah beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam berpuasa pada bulan Syaban semuanya. Dan sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Syaban.


Sebagian ulama di antaranya Ibnul Mubarak dan selainnya telah merajihkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam tidak pernah penyempurnakan puasa bulan Syaban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Shahih Muslim No. 1954 dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Saya tidak mengetahui beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan dalam riwayat Muslim juga No. 1955 dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata: Saya tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali bulan Ramadhan. Dan dalam Shahihain dari Ibnu Abbas, dia berkata: Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam berpuasa asatu bulan penuh selain Ramadhan. (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157). Dan Ibnu Abbas membenci untuk berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Berkata Ibnu Hajar: Shaum beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam pada bulan Syaban sebagai puasa sunnah lebih banyak dari pada puasanya di selain bulan Syaban. Dan beliau puasa untuk mengagungkan bulan Syaban.


Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma, dia berkata: Saya berkata: Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasanmu di bulan Syaban. Maka beliau bersabda: Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul alamin. Dan saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa. (HR. Nasai, lihat Shahih Targhib wat Tarhib hlm. 425). Dan dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud No. 2076, dia berkata: Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Syaban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan. Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/461.


Berkata Ibnu Rajab: Puasa bulan Syaban lebih utama dari puasa pada bulan haram. Dan amalan sunah yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Syaban diantara puasa yang lain sama dengan kedudukan shalat sunah rawatib terhadap shalat fardhu sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadhan. Maka oleh karena sunah-sunah rawatib lebih utama dari sunah muthlaq dalam shalat maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.


Sabda beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam: Syaban bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan, menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung bulan haram dan bulan puasa- manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Syaban. Dan banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Syaban karena Rajab merupakan bulan haram, padahal tidak demikian. Dalam hadits tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah masyhur keutamaannya baik itu waktu, tempat ataupun orang bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya.



Dalam hadits itu pula terdapat dalil disunahkannya menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan. Sebagaimana sebagian salaf, mereka menyukai menghidupkan antara Maghrib dan Isya dengan shalat dan mereka mengatakan saat itu adalah waktu lalainya manusia. Dan yang seperti ini di antaranya disukainya dzikir kepada Allah taala di pasar karena itu merupakan dzikir di tempat kelalaian di antara orang-orang yang lalai. Dan menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan punya beberapa faedah, di antaranya:

Menjadikan amalan yang dilakukan tersembunyi. Dan menyembunyikan serta merahasiakan amalan sunah adalah lebih utama, terlebih-lebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan rabbnya. Oleh karena itu maka dikatakan bahwa padanya tidak ada riya. Sebagian salaf mereka berpuasa bertahun-tahun tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar menyangka bahwa dia telah memakannya di rumahnya. Dan salaf menyukai untuk menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya.


Dari Ibnu Masud dia berkata: Jika kalian akan berpuasa maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa). Berkata Qatadah: Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan sedang berpuasa.


Demikian juga bahwa amalan shalih pada waktu lalai itu lebih berat bagi jiwa. Dan di antara sebab keutamaan suatu amalan adalah kesulitannya/beratnya terhadap jiwa karena amalan apabila banyak orang yang melakukannya maka akan menjadi mudah, dan apabila banyak yang melalaikannya akan menjadi berat bagi orang yang terjaga. Dalam shahih Muslim No. 2948 dari hadits Maqal bin Yassar: Ibadah ketika harj sepeti hijarah kepadaku. Yakni ketika terjadinya fitnah, karena manusia mengikuti hawa nafsunya sehingga orang yang berpegang teguh akan melaksanakan amalan dengan sulit/berat.


Ahli ilmu telah berselisih pendapat tentang sebab Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Syaban ke dalam beberapa perkataan:


1. Beliau disibukkan dari puasa tiga hari setiap bulan karena safar atau hal lainnya. Maka beliau mengumpulkannya dan mengqadhanya (menunaikannya) pada bulan Syaban. Dan Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amalan sunah maka beliau menetapkannya dan apabila terlewat maka beliau mengqadhanya.



2.Dikatakan bahwa istri-istri beliau membayar hutang puasa Ramadhannya pada bulan Syaban sehingga beliaupun ikut berpuasa karenanya. Dan ini berkebalikan dengan apa yang datang dari Aisyah bahwa dia mengakhirkan untuk membayar hutang puasanya sampai bulan Syaban karena sibuk (melayani) Rasulullah.

3.Dan dikatakan bahwa beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam berpuasa karena pada bulan itu manusia lalai darinya. Dan pendapat ini yang lebih kuat karena adanya hadits Usamah yang telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. (HR. Nasai. Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib hlm. 425).



Dan adalah beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam apabila masuk bulan Syaban sementara masih tersisa puasa sunah yang belum dilakukannnya, maka beliau mengqadhanya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunah beliau sebelum masuk Ramadhan sebagaiman halnya apabila beliau terlewat sunah-sunah shalat atau shalat malam maka beliau mengqadhanya-. Dengan demikian Aisyah waktu itu mengumpulkan qadhanya dengan puasa sunahnya beliau. Maka Aisyah mengqadha apa yang wajib baginya dari bulan Ramadhan karena dia berbuka lantaran haid dan pada bulan-bulan lain dia sibuk (melayani) Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam. Maka wajib untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadhan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Dan tidak boleh mengakhirkan sampai setelah Ramadhan berikutnya kecuali karena dharurat, misalnya udzur yang terus berlanjut sampai dua Ramadhan. Maka barang siapa yang mampu untuk mengqadha sebelum Ramadhan tetapi tidak melakukannya maka wajib bagi dia di samping mengqadhanya setelah bertaubat sebelumnya untuk memberi makan orang-orang miskin setiap hari, dan ini adala perkataannya Malik, Asy-Syafii dan Ahmad.


Demikian juga termasuk faedah dari puasa di bulan Syaban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat.


Dan oleh karena Syaban itu merupakan pendahuluan bagi Ramadhan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadhan seperti puasa, membaca Al-Quran, dan shadaqah. Berkata Salamah bin Suhail: Telah dikatakan bahwa bulan Syaban itu merupakan bulannya para qurra (pembaca Al-Quran). Dan adalah Habib bin Abi Tsabit apabila masuk bulan Syaban dia berkata: Inilah bulannya para qurra. Dan Amr bin Qais Al-Mulai apabila masuk bulan Syaban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca Al-Quran.


Puasa pada Akhir bulan Syaban


Telah tsabit dalam Shahihain dari Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam bersabda: Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini? Dia berkata: Tidak. Maka beliau bersabda: Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari. Dan dalam riwayat Bukhari: Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadhan. Sementara dalam riwayat Muslim: Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Syaban? (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).


Telah terjadi ikhtilaf dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini, dan yang masyhur maknanya adalah akhir bulan. Dan dikatakan sararusy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakn sarar karena istisrarnya bulan (yakni tersembunyinya bulan).


Apabila seseorang berkata, telah tsabit dalam Shahihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa salla, beliau bersabda: Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah. (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagimana kita mengkompromikan hadits anjuran berpuasa (Hadits Imran bin Hushain tadi) dengan hadits larangan ini?


Berkata kebanyakan ulama dan para pensyarah hadits: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam ini telah diketahui oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.



Dan dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Syaban ada pada tiga keadaan:


1.Berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.

2.Berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha Ramadhan yang lalu atau membayar kafarah atau yang lainnya. Jumhur ulama membolehkan yang demikian.


3.Berpuasa dengan niat puasa sunah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Syaban dan Ramadhan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri meskipun sudah terbiasa berpuasa- akan tetapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafii, Al-Auzai, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak..

Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadhan dengan puasa sunah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Syaban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.



Apabila seseorang berkata, kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya adalah karena dua hal:


Pertama: agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai langkah hati-hati/peringatan dari apa yang terjadi pada ahli kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka berdasarkan pendapat dan hawa nafsu mereka. Atas dasar ini maka dilaranglah puasa pada yaumusy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu alaihi wa alihi wa sallam. Dan hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadhan atau bukan yang disebabkan karena adanya khabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadhan tetapi khabar ini ditolak. Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasaa padanya. Dan ini adalah perkataaan kebanyakan ulama.


Kedua: Membedakan antara puasa sunah dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara fardlu dan sunah adalah disyariatkan. Oleh karenanya diharamkanlah puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah). Dan Rasulullah melarang untuk menyambung shalat wajib dengan dengan shalat sunah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan. Terlebih-lebih shalat sunah qabliyah Fajr (Shubuh) maka disyariatkan untuk dipisahkan/dibedakan dengan shalat wajib. Karenanya disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Dan Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam ketika melihat ada yang sedang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: Apakah shalat shubuh itu empat rakaat? (HR. Bukhari No.663).

Barangkali sebagian orang yang jahil mengira bahwasanya berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadhan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan nafsu) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah salah/keliru dan merupakan kejahilan dari orang yang berparasangka seperti itu. 

Wallahu taala alam.


Maraji: Lathaaiful Maarif fi ma Limawasimil Aami minal Wadhaaif, Ibnu Rajab Al-Hambali. Al-Ilmam bi Syaiin min Ahkamish Shiyam, Abdul Aziz Ar-Rajihi.

(Diterjemahkan dari artikel berjudul Haula Syahri Syaban di www.islam-qa.com oleh Abu Abdurrahman Umar Munawwir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar

.: Related Blog :.