Selasa, 19 Mei 2009

Indonesia diJajah 3,5 abad, Mitos??

by: yan's

Prof. Taufik Abdullah dalam pidato penganugrahan kepada Prof. Mr. G.J. Resink sebagai anggota kehormatan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) tanggal 10 November 1996 mengatakan bahwa “… jasa Prof. Resink yang terpenting adalah dalam lapangan metodologi sejarah. Ia memperkenalkan pendekatan hukum Internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme….. Dari penelitiannya ia sampai kepada kesimpulan bahwa kekuasaan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun di Kepulauan Indonesia sebenarnya tidak lebih dari mitos politik belaka yang tidak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah”.

Indonesia dijajah selama 350 tahun. Itulah satu dari sedikit warisan pemikiran pra-Orba yang masih bertahan sampai sekarang. Dalam upacara-upacara resmi, para pejabat yang merasa perlu memobilisasi semangat orang, selalu mengucapkannya. Sejak 1930-an, gerakan nasionalis menjadikan pernyataan ini sebagai bahan agitasi dan propagandanya. Menariknya, pada saat bersamaan di kalangan penguasa kolonial pun ada perdebatan serupa. Para pemilik perkebunan, birokrat kolonial dengan dukungan kalangan konservatif di Belanda bergabung dalam Vaderlandsche Club, yang ingin melanggengkan kolonialisme setidaknya untuk 350 tahun lagi, dan tidak melihat perlunya “berbaik hati” pada orang bumiputra melalui Politik Etis, karena ternyata hanya melahirkan pemberontakan. Pada 1926-27 terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan serikat-serikat rakyat di Jawa dan Sumatera Barat. Kalangan konservatif mendapat angin untuk menindas gerakan nasionalis dan sekaligus menyingkirkan pendukung Politik Etis dari birokrasi kolonial.
Posisi mereka ditentang oleh kelompok Stuw yang berbasis di Leiden, dengan anggota-anggota seperti J.H.A. Logeman dan H.J. van Mook. Mereka didukung oleh sarjana-sarjana kolonial yang berpendapat bahwa Belanda tidak pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun, dan karena itu tuntutan “melanjutkan penjajahan” untuk kurun waktu yang sama, menjadi tidak masuk akal. Mereka berpendapat sebaiknya negeri induk memberi kemerdekaan secara bertahap, dan mengelola sumber daya alam serta kegiatan ekonomi bersama-sama, seperti layaknya negara persemakmuran di bawah Inggris. Menindas gerakan nasionalis adalah pemborosan di samping bertentangan dengan prinsip-prinsip Etis yang dikembangkan sebelumnya.
Perdebatan itu tertunda ketika kekuasaan kolonial dipenggal oleh serbuan Jepang pada 1942. Gerakan nasionalis menjadikan arogansi Vaderlandsche Club sebagai bahan propaganda dan menulis kembali sejarah dengan membalik seluruh argumentasi yang terkandung di dalamnya. Apa yang oleh Vaderlandsche Club disebut sebagai kejayaan menjadi penindasan, pahlawan menjadi penjahat dan sebaliknya. Tapi keduanya sepakat bahwa Indonesia memang dijajah Belanda selama 350 tahun. Di tengah pergulatan ini muncul Gertrudes Johan Resink, mahasiswa sekolah hukum di Batavia, keturunan Indo-Belanda yang lahir di Yogyakarta pada 1911. Ia mendalami sistem hukum Indonesia, terutama hukum antar bangsa di bawah asuhan J.H.A. Logeman, tokoh kelompok Stuw.
Setelah menyelesaikan karya pertamanya mengenai sejarah hukum Madura, Resink bekerja sebagai pegawai negeri di sekretariat Gubenur Jenderal Buitenzorg (Bogor) hingga kedatangan balatentara Jepang. Pada 1947 ia menjadi satu dari sedikit ahli hukum yang tetap bertahan di Indonesia. Ia menggantikan Logeman mengajar di almamaternya, yang telah diubah menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia. Selama sepuluh tahun ia meneliti kembali hubungan Indonesia-Belanda dari perspektif hukum, untuk membongkar apa yang menurutnya adalah mitos-mitos, termasuk klaim bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun.
Ia adalah orang pertama yang secara kritis mengkaji kembali kebijakan pemerintah kolonial sejak abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Hasilnya adalah rangkaian esei yang kemudian dibukukan dan diterjemahkan dengan baik dalam bahasa Indonesia, dengan judul Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910.
Dengan perhatian utama pada keputusan pemerintah kolonial “yang dilupakan” baik oleh sejarawan Belanda, tokoh Vaderlandsche Club maupun gerakan nasionalis Indonesia, ia ingin membuktikan bahwa klaim penjajahan selama 350 tahun adalah mitos belaka. Menurutnya, pada dekade pertama abad ke-20 di kepulauan Indonesia masih tersebar daerah-daerah swapraja dan kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka. Ia menunjuk Regeeringreglement (peraturan pemerintah) 1854, yang menyatakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki wewenang untuk mengumumkan perang dan mengadakan perdamaian, serta membuat perjanjian raja-raja di seluruh Nusantara. Sampai abad ke-19 bahkan ada kerajaan-kerajaan yang cukup kuat dan “berada dalam hubungan setara” dengan penguasa kolonial, seperti Ternate dan Tidore.
Hubungan antara pemerintah kolonial dan kerajaan-kerajaan yang merdeka diatur dalam kontrak atau perjanjian. Artinya ada kerjasama antara penguasa kolonial dan kerajaan-kerajaan tersebut untuk mengelola sumber daya ekonomi sambil mempertahankan kedaulatan masing-masing. Tidak ada serangan bersenjata, pengiriman pasukan atau penaklukan seperti yang terjadi di wilayah-wilayah lain. Di Surakarta dan Yogyakarta yang masih merupakan daerah swapraja misalnya sewa tanah berjalan tanpa hambatan dan tidak ada keributan seperti halnya di tempat-tempat lain. Para penguasa kraton dan Gubernur Jenderal berhubungan baik. Melihat semua ini Resink kemudian menganggap kerajaan-kerajaan yang merdeka ini mirip dengan protekorat atau daerah di bawah perlindungan negara Hindia Belanda.
Dalam esei “Dari Debu Sebuah Taufan Penghancuran Patung-Patung” yang terbit 1956, Resink membandingkan kekuasaan Majapahit, VOC dan Hindia Belanda. Seperti C.C. Berg seorang sarjana kolonial terkemuka, ia mengatakan kekuasaan Majapahit harus dilihat dari segi lalu lintas perdagangan rempah-rempah yang tidak hanya menghubungkan pulau-pulau di Nusantara, tapi juga mengaitkannya dengan pelabuhan India serta daerah pantai di Laut Tengah. Kekuasaan Hindia Belanda tidak pernah sampai sejauh itu. Artinya klaim bahwa Belanda menguasai Nusantara seperti halnya Majapahit menguasai wilayah itu pun gugur. Apalagi jika dibandingkan VOC (cikal-bakal negara Hindia Belanda) yang hanya berkuasa di sebagian kecil wilayah dan sangat terbatas pula. Klaim penjajahan selama 350 tahun pun semakin terlihat rapuh ketika dihadapkan pada fakta-fakta dasar seperti ini. Ia mengakui bahwa orang Belanda memang tinggal dan bekerjasama dengan orang bumiputra selama ratusan tahun, mungkin juga melakukan kejahatan di sana-sini, tapi jelas tidak menguasai keseluruhan wilayahnya.
Perhatian lainnya adalah daerah-daerah di luar Jawa yang sangat sedikit disinggung dalam penulisan sejarah nasional. Kaum nasionalis biasanya menggunakan contoh perkebunan di Sumatera dan Jawa untuk menunjukkan penindasan yang hebat. Tidak ada yang bisa menyangkal itu, tapi Resink ingin membuktikan bahwa di samping itu masih ada wilayah-wilayah yang berdiri sendiri dan merdeka. Ia menggunakan nota H. Colijn yang menguraikan kebijakan pemerintah Hindia Belanda di daerah-daerah luar Jawa. Dari nota ini ia mendapat gambaran tentang situasi politik di berbagai daerah menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Hasil pengamatannya kemudian disusun menjadi esei “Negara-Negara Pribumi di Nusantara Timur”, untuk menunjukkan bahwa sampai kurun itu sebenarnya ada negara yang merdeka dan berdaulat atas wilayahnya. Ia melihat bahwa di mata pemerintah kolonial sendiri, semua wilayah itu dianggap otonom dan sejajar. Perlakuan itu bukan hanya bagi negeri-negeri yang memang masih merdeka seperti Kalimantan Selatan dan Lombok, tapi juga bagi wilayah yang mengadakan perjanjian dengan Belanda dan mengakuinya sebagai kekuasaan tertinggi, seperti Aceh, daerah bawah di Jambi dan Riau.
Dalam karangan terakhir di kumpulan itu, Resink menegaskan kembali masalah kedaulatan ini. Sekalipun raja-raja bumiputra mengakui penguasa kolonial sebagai kekuasaan tertinggi dan menyapa gubernur jenderal dengan sebutan “yang dipertuan besar” dalam perjanjian-perjanjiannya, status mereka sesungguhnya setara. Negeri seperti Aceh dan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan sekalipun berhubungan dengan Belanda, harus diperlakukan seperti Montenegro atau Monaco dalam hukum internasional.
Resink adalah pendukung kemerdekaan Indonesia. Ia sama sekali tidak menyangkal hak rakyat untuk merdeka, dan sangat kritis terhadap kekuasaan kolonial. Namun simpati atau keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan menurutnya tidak bisa tenggelam dalam kesalahan melihat fakta-fakta, apalagi mengembangkan mitos-mitos yang tidak berdasar. Karena itulah ia bersikeras membuktikan bahwa penjajahan selama 350 tahun adalah mitos belaka.
Memang dari sudut hukum, bukti-bukti yang diajukannya mendukung argumentasi itu. Tapi persoalannya kemudian bagaimana cara kita memahami bukti-bukti yang ada. Cukup jelas bahwa Resink berpegangan pada paham legalistik, yang berkutat pada rumusan hukum dan segala konsekuensi logisnya. Akibatnya ia seringkali tidak melihat struktur yang melandasi produk hukum itu. Singkatnya, memisahkan antara eksploitasi kolonial dengan produk hukum yang dibuatnya. Hukum baginya adalah sesuatu yang netral dan harus dibaca “seperti adanya”.
Karena itulah kerajaan-kerajan merdeka dianggapnya berada dalam hubungan setara dengan pemerintah kolonial. Mereka membentuk partnership dan bukan hubungan penguasa dan yang dikuasai. Pemerintah kolonial, seperti dijabarkan dalam perjanjian-perjanjiannya, bertindak sebagai pelindung kerajaan sambil tetap menghargai kedaulatan masing-masing. Tapi sebaliknya Resink tidak melihat hubungan sesungguhnya antara wilayah tersebut dengan penguasa kolonial, di luar jalur hukum. Eksploitasi ekonomi, ekspansi kekuasaan kolonial terus berlangsung, terlepas ada tidaknya perjanjian tersebut.

Misalnya perjanjian dengan Sultan Siak pada 1889 yang menjadi syarat bagi penguasa kolonial untuk menguasai tambang timah. Begitu pula perjanjian dengan Sumatera Timur pada 1909 yang mengakui kebesaran raja setempat tapi di sisi lain mengubah daerah kekuasaannya menjadi sebuah cultuurgebied (daerah perkebunan) yang menghasilkan jutaan gulden setiap tahunnya untuk para pemilik perkebunan. Dalam perjanjian itu disebutkan adanya platselijke raad atau semacam dewan pemerintahan, tapi kekuasaannya hanya sebatas “kedaulatan politik”, sementara urusan ekonomi dan eksploitasi, termasuk pengerahan tenaga kerja yang terkenal kejam, diserahkan sepenuhnya kepada pemilik perkebunan. Begitu pula dengan Nota Colijn yang menjadi rujukannya untuk memahami “kedaulatan” wilayah-wilayah merdeka di bagian timur Nusantara. Dalam nota itu berulangkali ditekankan bahwa negeri-negeri yang “merdeka” berada di bawah kekuasaan kolonial.
Persoalan lain, Resink juga nampaknya mengabaikan gerakan protes dan perlawanan rakyat yang me luas sejak abad ke-19, sementara para penguasa feodal di masing-masing wilayah menikmati “kesetaraan” dengan penguasa kolonial. Justru penaklukan kalangan elit dan perlawanan rakyat adalah ciri tanah jajahan di mana pun. Artinya, kemerdekaan tidak dapat diukur hanya dari sisi hukum, tapi harus melihat keseluruhan cara hidup masyarakat yang bersangkutan.
Studi Resink dan cara berpikirnya sangat dipengaruhi oleh keinginan “meluruskan sejarah” dari salah paham, baik di kalangan sarjana kolonial konservatif maupun gerakan nasionalis. Ia masuk dalam sebuah perdebatan panjang yang menariknya sampai pada kesimpulan sama dengan kepentingan yang bertolak belakang. Sementara kaum konservatif mengklaim penjajahan selama 350 tahun sebagai pembenaran untuk melanjutkan kolonialisme, gerakan nasionalis mengklaim kurun yang sama sebagai dasar untuk membebaskan diri.
Di tahun 1950-an, saat Resink menulis esei-eseinya yang mahsyur itu, gerakan nasionalis sedang naik pasang. Komentarnya memang menimbulkan perdebatan kembali di kalangan nasionalis dan intelektual sezaman. Komentar dan kritiknya yang tajam terhadap salah paham kaum nasionalis atas sejarahnya sendiri menjadi catatan penting bahwa propaganda tidak bisa bertahan atas dasar-dasar yang rentan dan salah. Sebaliknya perlu kita ingat bahwa Resink juga mengabaikan berbagai hal, termasuk hal-hal terpenting mengenai hubungan eksploitatif antara penguasa kolonial dan rakyat tanah jajahan. Kesepakatan dan perjanjian dalam bahasa yang santun tidak dengan sendirinya mencerminkan “kesetaraan”. Sumatera Timur mungkin menjadi contoh yang menonjol, sementara berdaulat di bidang politik, eksploitasi menyebabkan ratusan ribu orang menderita sebagai kuli kontrak yang nyaris seperti budak.
Bagaimanapun, karya Resink memberi sumbangan berharga untuk menyadari bahwa kemerdekaan secara legal-formal dan kedaulatan hukum, tidak dengan sendirinya berarti pembebasan menyeluruh dari hubungan-hubungan yang menindas.

(Razif, pekerja pada Jaringan Kerja Budaya)
http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-07200…sik-072001.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar

.: Related Blog :.